Mayjen. TNI. Purn. Teuku Abdul Hafil Fuddin , SH, SIP, MH.
“ANEUK MANOEK UTEUN” – (3)
SEJARAH ACEH
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Arabz, Asyi, )yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh sejak lama meyimpan ragam kekayaan budaya, termasuk ragam suku dan bahasa. Di Aceh terdapat 13 suku yang masing-masing suku memiliki bahasa tersendiri, yaitu; bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan Nias. Bahasa daerah Aceh bukan berarti bahasa Aceh. Bahasa daerah Aceh adalah sekumpulan bahasa daerah yang dlpakal oleh masyarakat di propinsi Aceh, apapun sukunya, apapun bahasanya, termasuk di dalamnya bahasa Aceh.
Jadi, bahasa Aceh adalah bagian dari bahasa daerah Aceh, dan Bahasa Aceh pada umumnya dimengerti oleh suku lainnya di Aceh karena bahasa Aceh sebagai lambang kebanggaan masyarakat Aceh.
Namun tentunya bukan hal ini yang menjadikan alasan bangsa Eropa diantaranya Pertugis , terutama Belanda ingin menguasai Aceh, karena ;
(a). Letak Aceh sangat strategis yaitu di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional,
(b). Pelayaran Belanda di Selat Malaka sering diganggu oleh pelaut Aceh,
(c). Traktat Sumatera yang ditandatangani oleh lnggris dan Belanda pada tahun 1871 memberi peluang Belanda untuk menyerang Aceh,
(d). Belanda mencurigai Aceh yang menjalin hubungan diplomatik dengan Turki, Amerika Serikat, ltalia, dan Singapura,
(e). Aceh dikenal dengan rempah rempah yang dibutuhkan dunia internasional saat itu khususnya Lada, Pala, Nilam, Cengkeh, Sereh, Gaharu, Merica, Barus, dsb.
(f). Kebencian Belanda terhadap para ulama Aceh yang mampu membakar semangat perang sabil di jiwa Rakyat Aceh,
(g). Kesombongan Belanda bahwa Aceh dapat dikuasai dengan waktu sesaat nyatanya Perang Rakyat Aceh terjadi sejak 1873-1904 yang memakan korban lebih dari 90.000 orang
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat Aceh hidup dengan tenteram di bawah kekuasaan raja-raja. Dibawah Kesultanan Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya yaitu Sultan Ali Mughayat Syah yang naik takhta pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarah kerajaan yang panjang itu dari tahun 1496 – 1903, Aceh mengembangkan sebuah pola dan sistem terhadap pendidikan militer negaranya, dengan komitmen kerajaan dalam menentang imperialisme dari bangsa Eropa, memiliki sebuah sistem pemerintahan kerajaan yang teratur dan sistematik, mewujudkan adanya pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke 15 yang semula disambut baik kerajaan nusantara tetapi lama-kelamaan rakyat melakukan perlawanan karena sifat-sifat dan niat-niat jahat bangsa Eropa yang ingin memaksakan monopoli perdagangan dan berusaha mencampuri urusan kerajaan-kerajaan.
Setelah Malaka dapat dikuasai oleh Portugis 1511, maka terjadilah persaingan dagang antara pedagang-pedagang Portugis dengan pedagang di Nusantara. Portugis ingin selalu menguasai perdagangan, maka terjadilah perlawanan-perlawanan terhadap Portugis.
Sejak Portugis dapat menguasai Malaka, Kerajaan Aceh merupakan saingan terberat dalam dunia perdagangan. Para pedagang muslim segera mengalihkan kegiatan perdagangannya ke Aceh Darussalam. Keadaan ini tentu saja sangat merugikan Portugis secara ekonomis, karena Aceh kemudian tumbuh menjadi kerajaan dagang yang sangat maju. Melihat kemajuan Aceh ini, Portugis selalu berusaha menghancurkannya, tetapi selalu menemui kegagalan.
Semangat rakyat Aceh untuk mengusir Portugis dari Aceh sangatlah besar. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan Iskandar Muda mencoba menambah kekuatan dengan melipatgadakan kekuatan pasukannya, angkatan laut diperkuat dengan kapal-kapal besar yang berisi 600-800 prajurit, pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda Persia, menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.
Perlawanant dilakukan. Permusuhan antara Aceh dan Portugis berlangsung terus tetapi sama-sama tidak berhasil mengalahkan, sampai akhirnya Malaka jatuh ke tangan VOC tahun 1641. VOC bermaksud membuat Malaka menjadi pelabuhan yang ramai dan ingin menghidupkan kembali kegiatan perdagangan seperti yang pernah dialami Malaka sebelum kedatangan Portugis dan VOC.
Kemunduran Aceh mulai terlihat setelah Iskandar Muda wafat dan penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani (1636–1841). Pada saat Iskandar Thani memimpin Aceh masih dapat mempertahankan kebesarannya. Tetapi setelah Aceh dipimpin oleh Sultan Safiatuddin (1641–1675) Aceh tidak dapat berbuat banyak mempertahankan kebesarannya.
Setelah Belanda berhasil menguasai selat malaka dari Pertugis, Belanda melaksanakan ekspedisi terhadap Aceh pada tahun 1873 yang bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yang menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yang di situ banyak terjadi perompakan.
Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yang mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran Gubenur Jenderal James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yang diharapkan. Hal ini menjadi pemicu perang Aceh dengan Belanda (1873-1874).
Perang Aceh dimulai sejak negara Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 setelah melakukan berbagai ancaman diplomatik, namun Belanda belum berhasil merebut wilayah yang besar.
Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Belanda mengalami kegagalan merebut wilayah Aceh.
Setelah kegagalan serangan pertama Belanda pada tanggal 20 November 1873 mengumumkan perang terhadap Aceh. Belanda saat itu sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara dengan melakukan Ekspedisi yang dipimpin oleh Jan van Swieten dengan mengerahkan 8.500 prajurit, 4.500 pembantu dan kuli, dan belakangan ditambahkan 1.500 pasukan.
Pasukan Belanda dan Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874. Sultan Mahmud Syah dan pengikutnya menarik diri ke bukit dan sultan meninggal di sana akibat kolera. Setelah Banda Aceh ditinggalkan dan Belanda berpikir bahwa mereka telah menang perang dengan mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan dan dianeksasi.
Setelah meningalnya Sultan Mahmud Syah, pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah untuk melanjutkan perjuangan dengan melakukan serangan serangan terhadap pasukan Belanda.
Belanda berhasil merebut kesultanan selama tahun 1881-1896, rakyat Aceh melanjutkan perang secara gerilya dan dikobarkan perang fisabilillah, dengan pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899, ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Selama tahun 1896-1910 perang gerilya dilakukan tanpa komando dari pusat pemerintah kesultanan yang bersipat perorangan dan kelompok dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan terhadap pasukan Belanda.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin di Kesultanan Aceh, memberikan masukan kepada negara Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumat habis-habisan para kaum ulama.
Masukan ini baru dilaksanan ketika Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memimpin. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus oleh Belanda untuk mengejar habis-habisan para pejuang Aceh hingga masuk pedalaman. Belanda mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga.
Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marsose dengan anggota pasukannya terdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur.
Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Rakyat Aceh paham Belanda mudah takluk jlka semua rakyat Aceh berjuang bersama. Belanda pun paham, maka mereka pun meIakukan strategi lain, yaitu Penghancuran sumber ekonoml dan Adu domba. Belanda pun meIakukan pembakaran, pembunuhan di hampir semua perkampungan dan pelabuhan dengan tembakan meriam darl kapal-kapal perang mereka.
Adu Domba, salah satunya melalui Sultan Mahmud dari Kesultanan Deli yang telah ’menyeberang ke Belanda tahun 1862 ini pun dijadikan juru-bicara sekaligus provokator.
Demi Allah, semua itu digagalkan atas kehendak Allah SWT, Tuhan YME hingga akhirnya terjadi Perang Aceh tangga| 26 Maret 1873, terus berlanjut hingga tahun 1883, tahun 1892 dan tahun 1893. Belanda sudah frustasi atas kegigihan rakyat Aceh, hingga kemudian di tahun 1896 Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memimpin, sekaligus membentuk Pasukan Marsose dibawah pimpinan G.C.E. Van Daalen untuk sebanyak-banyaknya membunuh para pejuang Aceh termasuk para ulama didalamnya.
Kejadian ini dilakukan hingga Januari 1903, dimana Kesultanan Aceh saat itu dipimpin Sultan Muhammad Daud Syah, saat itu persiapan perang rakyat Aceh begitu matang. Bagian pantai utara dan timur yang biasa menjadi tempat masuk kapal-kapal ke wilayah tersebut dijaga dengan sangat baik. Begitu pula jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat penjagaan dari pasukan kerajaan Aceh. Belanda yang kehabisan akal, akhirnya menawan istri, anak serta ibu kandungnya.
Belanda menawarkan perdamaian, namun hingga September 1903 upaya itu tidak digubrisnya, Sultan Aceh terus melakukan perjuangan. Hingga akhirnya para jenderal perangnya, Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud pun ditangkap.
Sultan pun menyerahkan diri dengan berbagai pertimbangan dan keselamatan rakyatnya, namun kepada Belanda beliau tidak menjamin perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh akan berhentl. Dan benar saja, saat Sultan dibuang ke Ambon dan Batavia hingga tahun 1907, perjuangan itu dilanjutkan oleh ulama keturunan darl Tgk. Chik di Tlro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau Teungku Mayed tewas ketika perang pada tahun 1910 di Gunung Halimun.
Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indié van 1811 tot 1894, jilid Ill (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, yang berisi pengakuannya, al; “..perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita, dan dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur .. tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban” (Red/Foto.ist)
Be the first to comment