PRESIDEN JOKOWI, PAK MOELDOKO. REFORMA AGRARIA, SATU TAHUN LALU. “JALAN DITEMPAT !?”
KoranJokowi.com, Jakarta : Satu tahun yang lalu, Kepala Staf Kepresidenan (Jenderal TNI. Purn) Moeldoko memimpin Rapat Tingkat Menteri (RTM) di Bina Graha Kantor Staf Presiden. Rapat ini dihadiri oleh Dirjen dan Deputi dari Kementerian ATR/BPN-RI, KLHK, Kemendesa PDDT, Kemenkeu, dsb (11/10)
RTM ini merupakan langkah kongkrit beliau dalam menindaklanjuti pertemuan Presiden Jokowi dengan perwakilan masyarakat sebelumnya, tepatnya saat peringatan Hari Tani Nasional, di Istana Merdeka, 24 September lalu.
Dalam RTM ini, Moeldoko memberikan arahan Presiden Jokowi tentang pentingnya melakukan percepatan realisasi Reforma Agraria, khususnya pada lokasi-lokasi yang selama ini telah diusulkan oleh masyarakat. “Saya mengharapkan arahan Presiden ini kita perhatikan baik-baik. Reforma Agraria mestinya dijalankan pada area-area yang diusulkan oleh masyarakat secara cepat. Sebab, selain mengurangi ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, dan menciptakan sumber kesejahteraan rakyat berbasis penataan pertanahan,” kata Moeldoko saat itu sambil memberikan target waktu 3 (tiga) bulan. Jika RTM itu bulan Oktober 2019, tiga bulan sesudahnya adalah Desember 2019. Apakah ini telah berjalan baik sebagai yang mewakili Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi), re-check lagi pak Jenderal.
Sedangkan kami, KoranJokowi.com hingga tulisan ini terbit (20/08/2020) masih banyak menerima laporan bahwa saudara-saudara kita yang mendiami lahan dengan status Register di Provinsi Lampung, Jambi dsb yang masih ‘jalan ditempat’. Sebut saja Desa Sidoarjo – Kab. Lampung Selatan, Tri-Desa ( Desa Mekarmulyo, Trisinar & Mekarmukti – Kab. Lampung Timur), Desa Sukapura – Kab.lampung Barat, Kabupaten Mesuji, Kecamatan Tanjung Bintang beberapa Desa di Kabupaten Batanghari – Jambi, dsb. Agh, sudahlah !
Oh ya, saat RTM lalu Dirjen Permasalahan Agraria dan Ruang Kementerian BPN menyatakan bahwa penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria pada lokasi yang diusulkan beberapa telah dilakukan langkah-langkah penyelesaian seperti di Cianjur, Pemalang dan Banjarnegara.
Sementera, Dirjen Planologi KLHK mengatakan bahwa pelepasan kawasan hutan telah mencapai 2.5 juta hektar, dan akan terus bertambah hingga 4 juta hektar hingga akhir tahun 2019.
Diantaranya juga, Moeldoko di RTM itu mengatakan agar setiap kementerian memahami bahwa reforma agraria adalah program prioritas Presiden, sehingga wajib menjadi agenda pekerjaan masing-masing KL. ‘Nah kan !
Juga, Dalam RTM itu, Moeldoko menyerahkan usulan Lokasi Prioritas Reforma Agraria yang harus diselesaikan dalam jangka pendek. Lokasi tersebut terbagi ke dalam dua yuridiksi, yaitu:
1.Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 33.584 hektar di 51 desa
2.Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional seluas 15.047 hektar di 38 desa.
Ada pun terkait dengan kelembagaan pelaksana reforma agraria, Kastaf menyatakan kembali bahwa Presiden Jokowi meminta segera melakukan penataan kelembagaan dalam pelaksanaan reforma agraria. “Presiden Jokowi akan memimpin langsung proses pelaksanaan reforma agraria ini. Karena itu, akan dilakukan proses revisi secara terbatas terhadap Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria, dan komitmen reforma agraria akan terus berlanjut dalam periode pemerintahan Jokowi ke depan. Sehingga, hasil-hasil RTM ini akan terus ditagih dan ditindaklanjuti”, kata Moeldoko serius.
Detik berganti detik, jam berganti jam, tahun pun berganti tahun. Tetapi mengapa saudara – saudara kita khususnya para Transmigran baik sipil maupun keluarga mantan angkatan perang kita masih selalu diberi stempel sebagai ‘Perambah hutan’, bukankah mereka membayar IPEDA/PBB dengan taat sejak puluhan tahun lalu, khususnya yang tersebar di provinsi Lampung.
RAKYAT DITUDING, KORPORASI SEMBUNYI DIBALIK SARUNG !?
Tahun 2019 lalu, saya ingat ada rilis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, yang mengklaim bahwa telah mengeluarkan sebanyak 740 sanksi administratif periode 2015 – 2019 ke berbagai korporasi yang melanggar aturan di Tanah Air. Rinciannya , 3.332 penanganan pengaduan, 4.000 pengawasan, serta 1.060 operasi pengamanan kawasan hutan yang tersebar di berbagai daerah.
Disebutkan pula, modus dan teknologi kejahatan di sektor kehutanan terus meningkat dan berkembang. Pelaku mulai dari perorangan, korporasi, bahkan didukung oleh oknum-oknum aparat. Modus yang digunakan pun terus berkembang, mulai dari menebang pohon secara tradisional sampai menggunakan teknologi dan juga manipulasi momen-momen yang ada.
KLHK juga telah melakukan gugatan perdata sebanyak 18 perkara dan sedang diproses di pengadilan. Kemudian tujuh lainnya sedang memasuki tahapan finalisasi untuk gugatan. Dari 18 perkara yang proses di pengadilan, 10 sudah mendapatkan putusan inkrah dengan nilai Rp.18,3 triliun dan terus akan dilakukan upaya-upaya gugatan perdata untuk memulihkan lingkungan serta menyelamatkan kerugian negara.
Pertanyaannya, Rp.18,3 triliun itu akibat ulah masyarakat atau korporasi?, ‘Mikir !
Kritik Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) waktu lalu, yang menyebut penegakan hukum lingkungan masih lemah, akhirnya menemukan konteksnya. Kata mereka, Pelaksanaan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pun, dinilai memang belum bisa menimbulkan efek jera. Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan hukum lingkungan adalah transparansi pengawasan dalam penegakan hukum, khususnya laporan penataan pelaku usaha. Pusat data profil penataan pelaku usaha lingkungan yang akurat dan bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat menjadi kebutuhan mendesak. Dengan data tersebut masyarakat bisa ikut membantu mengawasi sepak terjang perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan hidup
Mereka juga mengutip Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menyebutkan, indikasi areal kebakaran hutan dan lahan-tahun 2014-2019-di Kalimantan dan Sumatera lebih dari 190.000 hektar. Luasan tersebut terdiri dari 103.953 hektar di lahan pemanfaatan, 29.437 hektar di lahan perkebunan dari pelepasan, dan 58.603 hektar di lahan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN). ‘Uhuuyy.. (Red/Foto.ist)
Be the first to comment