Melawan Lupa – (23), PRRI BUKAN PEMBERONTAK , MEREKA MENGOREKSI !
KoranJokowi.com, Kab. Kampar : Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 1945 – 2021 sangat ‘berdosa’ jika kami di KoranJokowi.com tidak ikut merayakannya kalau pun berupa tulisan/artikel yang sumbernya kami himpun dari beberapa referensi, Apapun, mari kita sampaikan doa Alfatihah untuk para Pahlawan, para Syuhada Bangsa dan para orang tua – leluhur kita semua agar mendapat Surga-Nya, dimaafkan segala khilaf dan diterima amal ibadahnya oleh Allah SWT Tuhan YME
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Hamdan yuwafi ni’amahu wa yukafi u mazidah ya rabbana lakal hamdu wa lakas sukro kama yanbaqri lizaka li wajhikal karim wa aziimin sulta nika. Allahumma sholi wasallim alaa sayidinaa muhamadin wa alaa alihi wasaa bihi ajmain
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang, Kami mohon kepada-Mu ya Allah, terimalah persembahan dharma bhakti mereka, tidak saja sebagai pengabdian kepada tanah air, bangsa dan Negara, tetapi juga sebagai pengabdian dan ibadah kepada-Mu
-titikdua.net-
Jika mendengar nama PRRI maka akan terlintas di otak sebuah gerakan separatis yg ingin memisahkan diri dari kedaulatan RI. Seperti yg tertulis di buku pelajaran sejarah zaman orde baru (sebagian kita hidup di jaman orde baru). Itulah doktrin pemerintah yg berkuasa saat itu pada anak2 sekolah seumuran saya.
Di bangku kuliah, jaman setelah era orde baru selesai. saya membaca literatur dan buku buku yg banyak terbit. Saat para penulis dibebaskan menerbitkan buku2 yg biasa nya tidak diizinkan terbit di jaman orba.
Dan bertanya pada orang tua yg hidup di masa itu.
Dari sana saya simpulkan PRRI sebenarnya bukan berniat melepaskan diri dari Republik Indonesia. Melainkan bentuk protes para veteran militer di pulau sumatra karna politik mercu suar presiden sukarno yg saat itu terfokus pada pembangunan ibukota jakarta agar republik yg masih muda ini dipandang oleh dunia internasional.
Hal ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan antara pusat (jakarta) dan daerah lain hingga menimbulkan rasa sentimen dari perbagai daerah. Salah satu nya sumatra.
Hal ini ditambah dengan mesra nya hubungan presiden sukarno dengan komunis. Sukarno dikelilingi oleh penjilat2 yg beraliran kiri.
Kolonel ahmad hussein dari batalyon banteng mencampakan tanda pangkat di suatu acara rapat di dharmasraya sebagai bentuk kekesalannya pada pemerintah saat itu. Begitu juga dengan kolonel Ventje samual di sulawesi, di sumatra utara kolonel simbolon juga bersikap sama begitu juga mayor barlian dari sumatra selatan. Para veteran itu memprotes kebijakan pemerintah dengan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yg di deklarsikan di dharmasraya.
” Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”—- (Kolonel Ahmad hussein, ketua dewan Banteng)
Kota padang, 20 februari 1958, seorang laki laki berpakaian militer berpidato dengan berapi api di depan rapat umum di kota tersebut. Dengan lantangnya laki laki betubuh tegap ini berkata: “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno…!!!” seraya mencopot dan membanting tanda pangkatnya ke tanah.
Nampaklah sekali dia sangat gusar saat berpidato itu, wajahnya memerah karena menahan amarah di dalam dada. Rasa kesal, marah, kecewa bercampur aduk di dalam dirinya saat itu. Pemerintah pusat melalui Perdana menteri Ir. Djuanda menuduhnya sebagai seorang pemberontak dan memerintahkan KASAD untuk memecatnya dan teman teman kolonel seperjuangannya dari dinas kemiliteran. Sebagai seorang tentara yg telah malang melintang berjuang semasa revolusi fisik dahulu dia merasa sangat terhina ditantang tantang oleh seorang sipil seperti Djuanda, tak pedulilah kiranya ia seorang Perdana menteri sekalipun.
Seorang laki laki berkopiah dan bertongkat lalu menyabarkan dia, di tepuk tepuknya pundak kolonel muda ini. Disabarkannya seraya disuruhnya sang kolonel mengucapkan istighfar, lalu dipungutnya tanda pangkat yg dibuang tadi dan dipasangkannya kembali ke pundak sang kolonel.
Rapat umum di kota Padang itu benar benar mengharu biru gegap gempita, belum pernahlah rasanya orang Minang merasa sedemikian terhina seperti saat itu. Mereka di cap sebagai pemberontak saat yg dilakukannya hanyalah meminta hak mereka sebagai anak dari ibu pertiwi ini dan mengkoreksi sang paduka nan mulia di Jakarta sana yg sedang asyik masyuk terlena dengan egoismenya.
Laki laki berseragam militer ini lalu menyudahi pidatonya yg berapi api setelah menyatakan tidak takut kepada ancaman pemerintah pusat yang telah mengangkangi konstitusi dengan membubarkan dewan konstituante hasil pemilu yg sah. Dia juga membalas menuding Djuanda sebagai penjilat Soekarno dan komprador para komunis di sisinya. Siapakah laki laki yg dengan berani mengacungkan kepalannya kepada pemerintah pusat ini…? dia adalah Kolonel Ahmad hussein sang harimau Kuranji.
Harimau kuranji sang pengawal PDRI, punggawa proklamasi 17 Agustus di masa pelarian
Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun. Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Hussein aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR.
Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda/ NICA.
Meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik membuat karier militernya segera meroket. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan. Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran. Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat
Alih alih memenuhi dan mengkoreksi diri sendiri setelah membaca rekomendasi yg diberi nama “Tuntutan Dewan banteng” ini, Perdana menteri Ir. Djuanda beserta segenap anggota kabinet dari PNI dan PKI malah menganggapnya sebagai pemberontakan. Kolonel Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato berapi api di depan corong RRI Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, namun justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Selain itu dia juga mengecam Soekarno karena kian memihak kepada komunis, membangun proyek proyek mercusuar dan menutup mata pada kesengsaraan rakyat terutama yg berada di luar Jawa. Surat rekomendasi itu sendiri baru diterima oleh presiden Soekarno saat dia sampai di Jakarta setelah kembali dari cutinya selama 2 minggu.
Sungguh kenyataan yg ironis, disaat negara sedang bergolak maka paduka yg mulia pemimpin besar revolusi malah sedang asik menikmati gerak gemulainya tarian seorang gheisha yang kelak dikenal dengan nama Dewi Soekarno, isteri terakhir sang proklamator tersebut. Soekarno hanya tersenyum saja saat membaca surat rekomendasi tuntutan Dewan banteng yg kemudian hari memicu dibentuknya dewan dewan lainnya di daerah lain seperti Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Kol. Barlian), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol. Simbolon), dan Permesta di Sulawesi (Kol. Ventje Samual).
Bagi Soekarno para kolonel tersebut hanyalah anak anak nakal yg sedang merengek rengek dan bertindak nakal sehingga perlu sedikit dijewer telinganya. Soekarno memang selalu memposisikan dirinya sebagai ayah di hadapan perwira perwira militer, angkatan darat khususnya.
Beberapa ikhtiar untuk mendamaikan konflik pusat dan daerah telah dilakukan, baik lewat lobi-lobi pribadi maupun lewat forum terbuka nasional seperti Munas bulan September 1957, Piagam Palembang dan lain-lain. Namun apalah daya, semua usaha itu mentah akibat sebuah kejadian yg menimpa Soekarno pada malam tanggal 30 November 1957. Saat menghadiri ulang tahun sekolah anaknya di Cikini seseorang melempar granat ke mobilnya. Paduka presiden seumur hidup itu selamat namun kejadian itu membuatnya merubah sikapnya yang semula agak lunak menjadi sangat keras terhadap lawan lawan politikya.
Peristiwa yg dikenal dengan nama peristiwa Cikini itu menjadi salah satu alasannya untuk menangkapi lawan lawan politiknya dan otomatis itu artinya juga membalas protes para kolonel PRRI/Permesta dengan sebuah tindakan yg tegas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang orang PKI untuk memukul telak lawan lawan politiknya yg selama ini menjadi duri dalam daging yg mengganjal hubungan antara mereka dan Soekarno.
Pasca peristiwa Cikini keadaan Jakarta bagaikan bara nan dapat meledak dan membakar siapa saja yg bertentangan dengan sang pemimpin besar revolusi. Fitnah yg berhembus entah dari mana menimpa setiap lawan politiknya terutama yg terkenal sangat memusuhi PKI. Rumah MR. Mohammad roem di Jakarta dikepung massa, untunglah dia beserta keluarganya dapat menyelamatkan diri lepas dari kepungan massa yg di sinyalir digerakkan oleh unsur unsur Pemuda rakyat dan SOBSI, organisasi underbouwnya PKI.
Hal yang sama juga dialami oleh para tokoh Masyumi yang saat itu menjadi lawan politik Soekarno seperti Mohammad Natsir, mereka lalu mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan banteng. Hal ini sangatlah wajar jika mengingat sumatera tengah adalah basis massa Masyumi dan nyaris terbebas dari unsur unsur PKI sehingga mereka merasa aman dari ancaman orang orang PKI yg bersembunyi dibalik nama soekarnois.
Bahkan seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (*PSI) yang juga menjabat menteri keuangan dituduh korupsi oleh pihak militer , ikut mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan Banteng. Maka berkumpulah para lawan politik Soekarno dan orang orang PKI yang sedang menjadi benalu di sisinya di Sumatera tengah untuk melancarkan perlawanan terhadapnya
Kol. Ahmad yani ditunjuk sebagai kepala operasi untuk menumpas apa yang pemerintah pusat sebut “pemberontakan PRRI” . Pasukan itu tidak hanya tersidiri dari APRI , tapi diikutsertakan OPR , sebuah organisasi pro PKI. Sumatra barat dibombardir saudara2 nya dari pusat. Banyak yang gugur termasuk kol. Dahlan djambek yang pemberani
PRRI kalah jumlah dan amunisi . Pemerintah pusat datang sebagai penakluk dari pada saudara. Banyak cerita kekejaman tentara pusat saya dengar dari bapak2 yang hidup di jaman itu.
Kisah ini berakhir saat presiden Aukarno mengumkan amenesti nasional pada tgl 17 agustus 1961 bagi tentara yang terlibat PRRI permesta. PRRI terlihat hanya sebagai pergolakan daerah dari pada pemberontak. PRRI tidak pernah berniat merubah ideologi negara atau mendirikan negara di dalam negara seperti pemberontakan pemberontakan lainnya yg meletus saat itu Tapi lebih ke koreksi kepada kebijakan pemerintahan presisen soekarno
Trauma ini sebagian agak nya mempengaruhi mental orang minang, bahkan sampai orde baru. Banyak orang minang menamai anak anaknya serupa dengan nama orang jawa seperti Joko susilo, Haryanto, Bambang, Sukarno bahkan gubernur Sumatra barat saat ini bernama ‘Irwan prayitno’.
Wallahualam bishowab…
- dikutip dari berbagai sumber-
Zain/Chan-Foto.ist
Lainnya,
Melawan Lupa – (22), “PIYE KABARE YAHYA WALONI ?” – KORAN JOKOWI
2 Trackbacks / Pingbacks