NGopitainmen (35)
” PERAN KETUA RT/RW SEJAK JAMAN PENJAJAHAN JEPANG “
Koranjokowi.com, NGopitainmen :
Provinsi DKI Jakarta terdiri atas 2.731 RW dan 30.417 RT, khusus di Kota Jakarta Timur ada 707 RW dan 7.926 RT. Berarti sejumlah itu Prov.DKI Jakarta & Jaktim memiliki Ketua RW & RT yang merupakan ‘ujung tombak & ujung tombok’ dalam memberikan pelayanan kepada warganya.
Tidak perlu dipungkiri ditangan merekalah pelayanan pemerintahan terhadap warga terjaga , hal ini karena posisi RT dan RW yang strategis, yaitu berada di tengah-tengah masyarakat sehingga mudah menyampaikan apa yang menjadi kebijakan Pemerintah. Disatu sisi lainnya, RT dan RW juga menjadi corong aspirasi masyarakat terhadap Pemerintah.
Dengan adanya hubungan kemitraan antara Pemerintah dengan para pengurus RW & RT , segala kebijakan Pemerintah dapat tersampaikan dan dilaksanakan secara merata, keamanan masyarakat pun dapat terwujud dan kondusif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu saja ada rintangan dalam pelaksanaannya.
Disini kami tidak dalam membahas gaji /tunjangan yang diterima para Ketua RW & RT, karena itu tidak elok, ehehe.
Teman teman Relawan Jokowi dimana saja berada,
Pemerintah Militer Jepang yang menduduki NKRI saat itu kemudian memperkenalkan sistem tata pemerintahan baru yang disebut Tonarigumi (Rukun Tetangga, RT) dan Azzazyokai (Rukun Kampung, RK/sekarang RW).
Pembentukan sistem ini dulu digagas untuk tujuan merapatkan barisan di antara para penduduk Indonesia, sekaligus berfungsi untuk melakukan pengendalian dan pengawasan pemerintah militer Jepang terhadap penduduk di suatu wilayah.
Rukun Tetangga atau Tonarigumi masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga; beberapa Tonarigumi dikelompokan ke dalam ‘Ku (desa atau bagian kota). Inilah salah satu peninggalan pemerintah militer Jepang terhadap bangsa Indonesia.
Tanpa disadari sebenarnya Tonarigumi adalah unit terkecil dari program mobilisasi nasional yang didirikan oleh pemerintah Jepang dalam Perang Dunia II. Tonarigumi terdiri dari unit keluarga yang terdiri dari 10-20 rumah tangga yang diselenggarakan untuk keperluan bahaya kebakaran, gempa, pertahanan sipil dan keamanan internal.
Di Jepang sendiri konsep ini dimulai sejak 11 September 1940 oleh perintah dari Kementerian Dalam Negeri (Jepang) di bawah kabinet Perdana Menteri Fumimaro Konoye. Partisipasi adalah bersifat wajib.
Setiap unit bertanggung jawab untuk mengalokasikan barang dijatah, mendistribusikan obligasi pemerintah, pemadam kebakaran, kesehatan masyarakat, dan pertahanan sipil. Masing-masing unit juga bertanggung jawab untuk membantu Gerakan Mobilisasi Spiritual Nasional, dengan distribusi propaganda pemerintah, dan mengorganisir partisipasi dalam aksi unjuk rasa patriotik.
Pemerintah juga menemukan tonarigumi berguna untuk pemeliharaan keamanan publik. Sebuah jaringan informan didirikan menghubungkan setiap asosiasi lingkungan dengan Polisi guna menemukan pelaku tindak kejahatan perang, politik maupun kriminal.kemudian menyebar di Asia Tenggara (seperti RT / RW sistem Indonesia) dengan tujuan yang sama.
Kemudian dalam Perang Pasifik, Tonarigumi menerima pelatihan dasar bela negara/militer untuk melayani militer dan sebagai pengamat pergerakan pesawat, perahu dan tentara musuh yang mencurigakan di pantai maupun di tempat lainnya.
Pada akhirnyapun dimaksudkan bahwa tonarigumi berfungsi sebagai milisi sekunder/tentara cadangan, dalam kasus invasi musuh. Beberapa tonarigumi mengambil bagian dalam pertempuran di Manchukuo, Karafuto, dsb khususnya di hari-hari terakhir Perang Pasifik.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Tonarigumi secara resmi dihapuskan pada 1947, kemudian diantara mereka pun banyak yang menyebar dan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat saat itu, PMI maupun laskar laskar perang rakyat lainnya.
(Red-01/Giat/Bib-Foto.Ist)
Lainnya,
Be the first to comment