Dialektika saya dengan seorang mantan petinggi BPN. ” GAGAL PAHAM ATAU PAHAM GAGAL? “

Dialektika saya dengan seorang mantan petinggi BPN. ” GAGAL PAHAM ATAU PAHAM GAGAL? “

KoranJokowi.com, Jakarta : Diskusi ini semakin menarik. Antara seorang mantan birokrat di BPN dengan praktisi dan pembela hak-hak ulayat/adat dan tradisional Masyarakat Hukum Adat di nusantara.

Saya sangat paham bapak. Justru itu argumentasi bapak saya kritik. BPN (maaf, termasuk bapak sebagai mantan petinggi di BPN) selalu menekankan perkataan TANAH NEGARA kemudian mengambil kebijakan yang cenderung tidak membela rakyat dalam perkara pertanahan.

Pasal 2 ayat (1) UU nomor : 5 Tahun 1960 tentang PA berasal dari pasal 33 ayat (30) UUD NRI Tahun 1945 – menambahkan “ruang angkasa” (Mengenai ruang angkasa ini akan kita diskusikan kemudian, apakah negara sudah berkuasa – Meminjam pola pikir bapak “memiliki” – atau belum atas ruang angkasa di atas bumi Indonesia), mengatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya DIKUASAI oleh negara dst. Sekali lagi DIKUASAI bukan DIMILIKI.

Bukankah bapak sendiri yang mengatakan tanah Milik Negara? Itulah yang saya pertanyakan, di konstitusi mana mengatakan ada istilah Tanah negara. Sayang bapak sepertinya gagal paham memaknai pertanyaan saya. Lantas bapak mengajari saya untuk membaca peraturan dan perundang-undangan.

Istilah Tanah Negara sangat ABSURD. Saya kutip tulisan bapak di WA di hari sebelumnya “Begitu UUPA undang Pokok Agraria diterapkan maka Negara diakui sebagai pemilik Tanah dalam aras kekuasaan tertinggi. Tanah Negara.”

Bukankah Istilah tanah negara itu sendiri muncul dalam praktik administrasi pertanahan, dimana penguasaannya dilakukan oleh otoritas pertanahan. Itulah yang saya sebut tentang Konsep Tanah Negara, keBelanda-Belandaan. Istilah yang sangat demen digunakan Penjajah!.

A.P. Parlindungan mengatakan: “Sebenarnya istilah tanah negara dalam sistem UUPA tidak di kenal. Yang ada hanyalah tanah yang di kuasai oleh negara. Dalam pasal 1 atau pasal 2 UUPA juga menyebutkan bahwa tanah yang di kuasai oleh negara merupakan penjabaran dari hak menguasai dari negara atas bumi, air, dan ruang angkasa. Sungguhpun demikian, dalam banyak produk hukum masih saja menggunakan tanah negara sebagai pemakaian yang keliru. Tanah negara berkonotasi bahwa tanah itu milik negara. Padahal, pada kenyataanya tidaklah demikian. Istilah ini sebagai terjemahan dari staatsdomein, sehingga sebenarnya tidak tepat lagi digunakan, dan sebaiknya digunakan istilah tanah yang dikuasai oleh negara seperti diatur oleh UUPA”.

Saya dapat menerima penggunaan istilah tanah negara sepanjang konsepsi dan maknanya di sesuaikan dengan UUPA. Sangat disayangkan BPN dan Kehutanan sangat jarang atau bahkan tidak pernah mensosialisasikannya konsepsi dan maknanya kepada rakyat.

Tanah negara bukanlah tanah tanah “milik” negara yang mencerminkan adanya hubungan hukum antara negara dan tanah yang bersangkutan yang bersifat privat, namun merupakan tanah-tanah yang di kuasai oleh negara dengan hubungan hukum yang bersifat publik. Berdasrkan hubungan hukum yang bersifat publik, maka wewenang pengelolaan atas tanah negara kemudian “diatribusikan” ke berbagai otoritas. Kewenangan otoritas pertanahan atas apa yang disebut sebagai tanah negara tersebut meliputi: tanah-tanah yang bukan tanah wakaf, bukan tanah hak penglolaan, bukan tanah-tanah hak ulyat, bukan tanah-tanah kaum, dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. (Boedi Harsono, Hukum Agraria Nasional.Sejarah pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaanya, (Djambatan, Jakarta, 1997, hlm 242).

Beberapa ketentuan dalam UUPA yang menyebut tanah negara (Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), adalah :

a. Pasal 21 ayat (3) dan (4) yang menyatakan bahwa orang asing dan atau warga negara Indonesia dan/atau seseorang yang berkewarganegaraan rangkap yang memperoleh hak milik namun kemudian kehilangan kewarganegaraanya, maka dalam waktu 1 (satu) tahun harus melepaskan haknya tersebut. Jika tidak, maka hak milik tersebut jatuh kepada negara.
b. Pasal 26 ayat (2) pemindahan /peralihan hak milik kepada orang asing /orang Indonesia yang berkewarga-negaraan rangkap / badan hukum yang tidak di tunjuk mempunyai akibat batal demi hukum, dan tanah nya jatuh kepada negara.
c. Pasal 24 a: hapusnya hak milik dan tanahnya jatuh kepada negara, di karenakan pencabutan hak; karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya; karena ditelantarkan; dan karena huruf a dan b di atas.


d. Pasal 28 ayat (1): hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
e. Pasal 37: terjadinya hak guna bangunan di atas tanah yang di kuasai langsung oleh negara.
f. Pasal 41 ayat (1): hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang di kuasai langsung oleh negara.
g. Pasal 43 ayat (1): sepanjang mengenai tanah yang langsung di kuasai oleh negara, maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
h. Diktum keempat huruf A UUPA: hak-hak dan wewenangwewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang ini hapus dan beralih kepada negara.

Istilah tanah negara pertama sekali dimunculkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan sebutan Staats lands domein sebagaimana terdapat dalam pasal 519 Burgerlijk Welboek (BW) dan Agrarisch Wet (staatsblad 1870-55) beserta seluruh peraturan pelaksanaanya, antara lain: Agrarisch Besluit (staatsblad 1870-118), staatsblad 1875-199a), Koninklijk Besluit (staatsblad 1872-117), dan Zelfsbestuurs Regelen.

Istilah staat lands domein yang kemudian di terjemahkan menjadi tanah negara itu menjadi populer dalam Algemen Domeinverklaring (pernyataan umum tanah negara) sebagaimana tersebut dalam pasal 1 Algemen Besluit (AB) Tahun 1870 No. 118 yang berbunyi: “Dengan pengecualiaan atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5 dan 6 pasal 51 dari Indische Staatsinrichting van 18 Nederland Indie, semua tanah yang tidak memiliki hak yang dapat di buktikan, maka ia menjadi milik negara”.

Pengaturan tanah negara pasca kemerdekaan melanjutkan konsepsi dan ketentuan ketentuan yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang penguasaan tanah-tanah negara, dimana “filosofi tentang hubungan antara negara dan tanah yang menjadi landasan Peraturan Pemerintah tersebut mendasarkan pada asas domein, yakni negara selaku pemilik tanah dalam hubungan yang bersifat keperdataan.

Di dalam Peraturan Pemerintah ini di gunakan terminologi tanah negara yang di kuasai penuh dan tanah negara yang tidak di kuasai penuh. PP tersebut menyatakan tanah negara adalah tanah yang di kuasai penuh oleh negara. Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa tanah di kuasai penuh jika tanah-tanah tersebut memang bebas sama sekali dari hak-hak yang melekat atas tanah (hak-hak Barat, seperti Eigendom, Erfpacht, dan Opstal maupun hak adat seperti hak ulyat, dan hak pribadi.

Jadi, marilah kita tidak kelondo-londoan. Tetaplah pada jatidiri Ke Indonesiaan. Mari gunakan setiap istilah dengan benar dan tepat sesuai konteksnya.

Peraturan perundang-undangan yang baik adalah jika ia tidak mendatangkan kesulitan dan kesusahan kepada rakyat, tetapi keteraturan dan kesejahteraan

Salam Relawan !

Jakarta, 12 Agustus 2021

Santiamer Haloho

Staf Ahli KoranJokowi.com Bd.Agraria & LH

Partnership sourches.

Land Reform dan Reforma Agraria di Indonesia – Bing video

Tentang Koran Jokowi 4159 Articles
MEDIA INDEPENDEN RELAWAN JOKOWI : *Alumni Kongres Relawan Jokowi 2013 (AkarJokowi2013), *Aliansi Wartawan Non-mainstream Indonesia (Alwanmi) & Para Relawan Jokowi Garis Lurus lainnya.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan