
Sumatera Utara Terus bergemuruh disaat ada Program Reforma Agraria, “KAMI MASIH PERCAYA KEPADA KANTOR STAF PRESIDEN !”
KoranJokowi.com, Bandung : Ingkon sada do songon dai ni aek, unang mardua songon dai ni tuak, setiap orang harus saling terbuka agar seia sekata, dan bukan berdebat dalam pendapat yang berbeda. Saya tidak tahu apakah pepatah / pribahasa Batak ini ada kaitannya dengan judul dan isi tulisan ini, silahkan sobat KoranJokowi.com yang menyimpulkannya sendiri.
Yang jelas, kita, Relawan Jokowi sedikit tercenggang sekaligus heran, disaat Wakil Menteri ATR/BPN – Surya Tjandra menyebut jika wilayah Sumatera Utara (Sumut) menjadi/adalah ‘titik panas’ (hotspot) konflik agraria. Maka salah satu strategi untuk mengatasinya, masih kata Wamen , adalah melalui program reforma agraria serupa pembangunan daerah, apalagi dari 19 titik Program Strategis Nasional di Pulau Sumatera, tujuh di antaranya berada di Sumut.
Pertanyaan kita kemudian, memang sudah sejauh mana Kementerian ATR/BPN ‘hadir dalam konflik – konflik lahan disana?, karena permasalahan dan konflik agraria bukanlah ‘ujug – ujug datang dan hadir sendirinya, umumnya semua karena seolah ‘dibiarkan’ selama ini. Konflik lahan , baik antara warga – pemerintah – BUMN – swasta dsb yang selama ini terjad di Sumatera Utara sebenarnya sederhana saja. Celah komunikasi yang ditutup segeralah dibuka, dari sana berawal dan menjadi ‘pintu masuk’ untuk memahami mengapa ada konflik.
Masyarakat tidak perlu tekhnologi, aplikasi atau teori. Mereka hanya butuh diajak bicara, didengarkan.Tidak perlu juga strategi sebagaimana hendak berperang. Banyak sudah konsep, teori dan strateginya hingga yang terakhir adalah dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang bertujuan mempercepat penyelesaian konflik agraria disana. Namun ya itu tadi, teori.
Saya etnis sunda, bukan berasal dari sana, namun saya paham , Masyarakat disana tidak mungkin melawan pemerintah selama ada keadilan dalam penyelesaian konflik agraria, pembangunan daerah melalui tata ruang yang berkeadilan, dan redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang berpedoman kepada keinginan masyarakat sebagaimana aturan dan hukum yang ada. Itu yang sebenarnya disebut ‘titik panas’ (hotspot).
Untuk hal diatas , bahkan saya memuji statemen Komisioner Ombudsman RI, Prof Dr Adrianus Meliala waktu lalu yang menyatakan, agar dalam menyelesaikan konflik pertanahan, terutama di Sumatera Utara, pemerintah jangan hanya melakukan ‘Pendekatan hukum’. Tapi, dalam situasi tertentu, pemerintah harus menggunakan pendekatan politik.
Saya sependapat , kita harus menuju ‘ win-win solution’ dalam menuntaskan konflik tanah ini lebih baik menggunakan pendekatan politik dari pada pendekatan hukum. Karena kalau menggunakan pendekatan hukum, masing-masing pihak akan mengklaim sebagai pihak yang benar. Pemerintah misalnya, akan mengatakan masyarakat telah melanggar aturan perundangan undangan. Tapi di sisi lain, masyarakat juga akan bertahan dengan berbagai macam alasan yang mereka anggap benar. Kalau sudah begini, maka tidak akan ada penyelesaian.
KoranJokowi.com hingga saat ini masih banyak mendapatkan laporan maraknya konflik warga tentang lahan eks HGU PTPN, mayoritas, apapun, banyak masyarakat yang telah puluhan tahun menguasai lahan, menggarapnya dan memproduktifkannya. Kemudian mereka seolah dinafikan atau ekstrimnya – DI-USIR – Wajar jika masyarakat bertanya Reforma Agararia di Sumut itu berpihak kemana?
Bagi saya, dalam penyelesaian konflik tanah dengan pendekatan politik, disertai mix pendekatan dan penyelesaian budaya, karena masyarakat batak itu toleran – egaliter ; itu yang terbenar. Semua stakholder dipertemukan. Soal lahan eks HGU PTPN misalnya, dihadirkan Menteri BUMN, Menkeu dan pemerintah daerah, dsb. Dan jangan saling tuding, mencari pembenaran sendiri. ‘Kelar pastinya !
NEGARA HADIR DIANTARA MEREKA,
Kantor Staf Presiden adalah upaya terakhir mereka,
karena lebih merasa ‘didengar?
Atau mari kita nikmati saja Sumatera Utara terus bergemuruh?
(Red-01/Foto.ist)
Be the first to comment