SAE NABABAN, “BERDIRI TEGAK DALAM KE BHINNEKA TUNGGAL IKA-ANNYA SAMPAI MENUTUP MATA , 1933 – 2021.REST IN PEACE, OPPUNG !”

SAE NABABAN, “BERDIRI TEGAK DALAM KE BHINNEKA TUNGGAL IKA-ANNYA SAMPAI MENUTUP MATA , 1933 – 2021.REST IN PEACE, OPPUNG !”

KoranJokowi.com, Bandung : Sekitar tahun 1986-1987 lalu oleh seorang Executive Director sebuah perusahaan swasta besar di Jakarta. saya dan  alm.ayahanda diperkenalkan dengan beliau. Sederhana, egaliter dan kharismatik.Kebetulan beliau saat itu memberi materi ‘siraman rokhani’ ditempat ayah bekerja, saya ingat beliau menyampaikan banyak pesan egaliter dalam paparannya salah satunya tentang ‘Rasisme.

Kata beliau, Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, walaupun sudah menjunjung tinggi persatuan nasional tanpa membeda-bedakan suku, ras, maupun agama melalui Sumpah Pemuda 1928, bukan berarti praktek rasisme kolonial lenyap. Rasisme malah tetap tumbuh dengan menukar posisi ras yang dimuliakan dan dinistakan.

Dan konsep Bhinneka Tunggal Ika adalah formula tepat yang dibuat oleh para pendahulu, Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno merupakan ekspresi dari roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan in-formal.

Masih kata beliau,  salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokatis adalah tewujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini berkat Tuhan dan hukum alam. Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama dan sebagainya, indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh para Founding Fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “ Bhinneka Tunggal Ika”.

Tentunya setiap bangsa ingin menonjolkan keunggulan dari identitas bangsanya terlebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini di mana pertemuannya antar bangsa menjadi sangat cepat dan mudah. Dalam pergaulan antar bangsa nilai-nilai yang positif dari suatu bangsa akan ikut membina perdamaian dan kehidupan yang lebih tenteram di planet bumi ini. Identitas bangsa indonesia seperti yang kita kenal sebagai bangsa yang ramah-tamah,toleran, kaya akan tradisi dari suku-suku bangsa yang Bhinneka perlu terus dikembangkan untuk kebudayaan dan perdamaian seluruh umat manusia.

Dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu berarti masyarakat Indonesia adalah plural. Dan di dalam masyarakat plural, dialog adalah keniscayaan bahkan keharusan. Sesungguhnya bicara pluralisme dan dialog antar-agama itu bukan hal baru di negeri ini. Memang isu pluralisme adalah setua usia manusia, hanya cara dan metode manusia menghadapinya yang berbeda. Jadi masyarakat yang majemuk itu haruslah mengadakan dialog agar integrasi tetap terjaga dan mereka juga harus bersatu dalam perbedaan.

Demikian yang saya ingat akan ‘petuah dan paparan Dr. Soritua A.E (SAE) Nababan, LLD  yang kemudian dikenal sebagai  seorang pendeta dan tokoh gereja di Indonesia. Bahkan beliau telah mendapatkan penghargaan Ikon Prestasi Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dimana  Penghargaan ini didasarkan pada dedikasi beliau pada gerakan lintas iman di Indonesia (29/8/2020) lalu di Jakarta.

Hal lain yang saya tahu,  pendeta kelahiran Tarutung 24 Mei 1933 ini adalah satu dari beberapa tokoh yang cukup kritis terhadap Orde Baru, terkait persoalan kemanusiaan, hukum dan keadilan. Sementara di lingkup kekristenan, ia dikenal sebagai pimpinan di DGI/PGI, lembaga pemersatu gereja-gereja Protestan di Indonesia juga gerakan kekristenan se-dunia.

Saat beliau menjadi pimpinan HKBP di era 1980-1990-an, sinode gereja dengan jumlah anggota jemaat terbesar di Asia Tenggara kala itu.Beliau sempat merasakan intervensi rezim Soeharto di jemaat yang dipimpinnya. Dualisme kepemimpinan HKBP sepanjang 1992-1998 pun terjadi karena Orde Baru memaksakan kepengurusan yang lebih tunduk pada penguasa.

Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur memberi testimoni bahwa sama seperti yang dialami ayahnya di tubuh Nahdlatul Ulama (NU), Beliau  dan HKBP juga dipaksa untuk tunduk pada totaliterianisme Orde Baru. Namun, Alissa mengaku bersyukur sekali kedua tokoh progresif ini, dengan jalan masing-masing, bisa menghadapi tekanan itu dengan kekuatan spiritual.

Dan hari ini, saya mendengar kabar dari seorang kawan/Relawan Jokowi bahwa beliau, Ompui Ephorus Emeritus HKBP Ompui Pendeta Dr. Pendeta SAE Nababan,LLD telah  meninggal dunia di RS Medistra Jakarta, Sabtu (8/5/2021).

Apapun selamat jalan Oppung, pesanmu akan tetap kami kenang. Rest In Peace ! (Red-01/Foto.ist)

Tentang RedaksiKJ 3808 Articles
MEDIA INDEPENDEN RELAWAN JOKOWI : *Alumni Kongres Relawan Jokowi 2013 (AkarJokowi2013), *Aliansi Wartawan Non-mainstream Indonesia (Alwanmi) & Para Relawan Jokowi Garis Lurus lainnya.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan