Diary, GUNTUR SUKARNOPUTRA 1944- 2021 – (9),”MENYAKSIKAN ACARA INDONESIA TOWN HALL DI METRO TV”

Diary, GUNTUR SUKARNOPUTRA 1944- 2021 – (9),“MENYAKSIKAN ACARA INDONESIA TOWN HALL DI METRO TV”

—- –

Mohammad Guntur Soekarnoputra dilahirkan di Jakarta3 November 1944, putra sulung alm.Ir. Sukarno – alm.Hj.Fatmawati , kepada KoranJokowi.com masih menyempatkan waktu untuk berbagi bagian kecil perjalanan hidupnya. Terimakasih kepada adinda Rudy yang telah memfasilitasinya. Semoga Om Guntur, Om Gun, Mas Tok senantiasa diberikan kesehatan, Aamiin Yarabil’alamin.

—- –

KoranJokowi.com, Bandung : Selasa malam tanggal 24 Agustus 2021 dalam keadaan terkantuk-kantuk karena terlalu banyak makan Lumpia Semarang kiriman seorang sahabat, saya terhenyak melihat acara Indonesia Town Hall di Metro TV yang dipandu oleh presenter Silvia Iskandar yang dihadiri oleh pemuka-pemuka dari berbagai partai politik yang ada dan membahas masalah adanya baliho-baliho yang bertebaran marak di daerah-daerah namun dianggap merupakan hasrat politik tebar empati.

Masalah adanya baliho-baliho ini pernah saya singgung  sepintas dalam artikel saya “Ribut-Ribut Jokowi Presiden 3 Periode” yang dimuat di KoranJokowi.com beberapa waktu yang lalu.

Menyimak tanya-jawab antara presenter dengan tokoh-tokoh partai-partai politik yang hadir, hilang kantuk saya dan geleng-geleng kepala. Bukan main!  Begitu hebatnya perdebatan-perdebatan yang terjadi di dalam acara tersebut terutama dalam menjawab pertanyaan presenter, apakah tepat memasang baliho saat ini dimana agresi setan siluman covid-19 masih gencar adanya. Masing-masing pemuka-pemuka partai benar-benar tarik urat dengan argumentasi-argumentasinya untuk membenarkan adanya pemasangan baliho-baliho tersebut di atas.

Terutama tokoh dari partai PDI Perjuangan dan Partai Golkar benar-benar bersikukuh mempertahankan pendapat  akan sahnya pemasangan baliho baliho tadi, sehubungan akan adanya Pilpres 2024 yang akan datang. Pada dasarnya sehubungan dengan adanya pemasangan baliho-baliho tadi Elektabilitas jago-jago mereka diharapkan dapat “dikatrol” agar lebih tinggi Prosentasenya, akan tetapi mengacu pada hasil survey lembaga Charta Politika maka elektabilitas jago-jago mereka tetap saja tidak bertambah dari hasil survey-survey yang lalu. Ternyata Ganjar Pranowo masih tetap leading elektabilitasnya.

Buat saya pemasangan-pemasangan baliho-baliho tadi sah-sah saja walaupun bila di dihubungkan dengan adanya agresi setan siluman covid-19 saat ini waktunya memang kurang tepat sebaiknya saat ini segala upaya dan usaha kita konsentrasikan dahulu untuk mengatasi adanya pandemi setan siluman covid-19 agar rehabilitasi ekonomi dapat segera terlaksana.

Dari acara tersebut saya baru mengetahui bahwa pemasang sebuah baliho menghabiskan dana berkisar sekitar Rp.30 juta-an dan dananya diperoleh dari hasil “Saweran” kader-kader partai tersebut. Terus terang hal ini hebat karena berarti di dalam partai tersebut  semangat solidaritas antar kader cukup tinggi dan dalam hal ini sangat baik dan positif untuk perkembangan partai.

Apakah Elektabilitas dapat merupakan Tolok Ukur?

Menurut pendapat kalangan tokoh-tokoh politik terutama yang ingin turut partisipasi dalam rangka Pilpres 2024 maka tingkat elektabilitas merupakan faktor penentu bagi sukses atau tidaknya mereka di Pilpres yang akan datang. Sebagai salah satu faktor penentu memang elektabilitas mengambil peranan yang cukup penting, namun bukan faktor elektabilitas saja yang menjadi faktor penentu apalagi dalam kondisi Indonesia saat ini dimana sistem demokrasinya masih berupa demokrasi 50% + 1 (Demokrasi barat yang kapitalistik) maka salah satu faktor penentu yang lain adalah kemampuan logistik dari sang calon. Senang atau tidak senang hal tersebut diatas masih sangat mendominasi kemenangan calon.

Istilah populernya hal tersebut disebut “Serangan Fajar” dari sang calon. Sudah barang tentu tidak pukul rata semua calon melakukan “Serangan Fajar” karena banyak calon terutama  dalam pilkada-pilkada berlaku jujur alias mengambil jalan Pancasila jalan lurus.

Hal tersebut dapat terjadi mengingat kesadaran politik masyarakat pada umumnya relatif masih sangat rendah karena sejak era Orde Baru sampai dengan saat ini pendidikan budi pekerti serta pembangunan watak dan jiwa bangsa  (Nation and character building) tidak dilakukan lagi sehingga warga mudah tergoda dengan “hujan” rupiah yang terjadi. Apalagi dalam kondisi ekonomi nasional dalam keadaan menyedihkan beberapa waktu yang lalu bahkan sampai dengan saat ini yang diperparah lagi dengan adanya pandemi setan siluman covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir.

Siapa yang dapat menjamin pada tahun 2024 pandemi sudah selesai tuntas?!  Walaupun demikian dengan adanya kemajuan teknologi digital khususnya kesadaran massa di basis-basis massa cukup tinggi dan tidak mudah tergoda oleh “hujan” rupiah, di samping itu mereka sudah sadar dengan pilihan mereka yang tidak akan goyah di tahun 2024. Saya yakin mereka saat ini tanpa melihat elektabilitas, hujan rupiah, propaganda dari sang calon mereka sudah mengantongi jagonya untuk 2024 termasuk yang akan menjadi pimpinan mereka di tahun 2024 sampai dengan 2029 sudahlah mereka pastikan dan tak tergoyahkan oleh situasi, kecuali kalau mereka ditodong dengan senjata api mungkin sekali lagi mungkin pendirian mereka akan berubah!

Untuk kalangan pimpinan-pimpinan partai politik dan para calonnya hal tersebut di atas kurang dipahami sehingga mereka tetap saja mengandalkan “kekuatan” propaganda, baliho-baliho, dan logistik.  Masalahnya berapa kuat “logistik” yang dapat mereka mobilisasi di saat perekonomian kita sedang dalam keadaan memprihatinkan bahkan menyedihkan ini.  harus diwaspadai janganlah sampai terjadi mereka menghalalkan segala cara untuk memobilisasi “logistik” dengan menggunakan cara-cara yang haram dan melanggar hukum.

Pengalaman-pengalaman di masa lalu sudah banyak memberi pelajaran bagi kita untuk hal tersebut diatas.

Pemilu Di Era Orde Baru

Pada era orde lama ( Menurut Soekarno:  orde dasar/ ordas)  pemilu tahun 1955 yang dimenangkan oleh Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis, disusul oleh partai Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI, pemilu tersebut oleh banyak kalangan dianggap sebagai pemilu yang sangat demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia.

Dalam era Orde Baru pemilu pertama diadakan pada tahun 1971 di mana saya sempat menjadi Jurkam Nasional untuk PNI Front Marhaenis. Saya rasa Pemilu tadi adalah suatu pemilu yang sarat dengan tekanan-tekanan dan tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru khususnya terhadap PNI Front Marhaenis karena dianggap sebagai partai pendukung Bung Karno dan ajaran-ajarannya.

Dimanapun saya melakukan kampanye dan berpidato untuk mengobarkan semangat massa selalu saja ditekan dan di ditakut-takuti oleh aparat-aparat keamanan saat itu. Bahkan pernah diusir dari tempat kampanye yang sudah ditentukan. Hal serupa sempat saya alami juga ketika berkampanye di daerah Solo, Cilacap, Madiun dan lain sebagainya. Syukur alhamdulillah walaupun dibawah tekanan-tekanan yang masif semangat massa masih tetap menggelora.  Kampanye penutup dilakukan di Istora Gelora Bung Karno.

Saat itu tekanan-tekanan nyaris tidak ada dilakukan oleh aparat-aparat Orde Baru mengingat kampanye tersebut diliput oleh puluhan wartawan-wartawan asing (luar negeri) dan dalam negeri. Dalam keadaan ditekan habis-habisan PNI Front Marhaenis masih dapat memperoleh suara + 3.000.000  pemilih.  Setelah itu pemerintah Orde Baru mengadakan penyederhanaan kepartaian dengan jalan mengadakan fusi dari partai politik. DPP Partai akhirnya menyetujui untuk mengadakan fusi dengan partai-partai yang lain seperti: Partai Murba;  Katolik;  Parkindo;  IPKI dan dari hasil fusi partai dinamakan PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Saya yang menentang keras adanya fusi partai-partai, menyatakan mengundurkan diri dari PNI Front Marhaenis dan menolak bergabung dengan PDI sampai dengan saat ini.  Begitulah sekilas pengalaman saya menjadi juru kampanye Nasional dari PNI Front Marhaenis di era proses De-Sukarnoisasi dilakukan dengan terencana dan masif.

Kewajiban Kaum Patriotis Sukarnois Dan Relawan Jokowi

Dari penuturan diatas timbul pertanyaan bagaimana tugas kaum patriotis Sukarnois dan relawan Jokowi menyambut Pilpres 2024?   tugas utama yang harus dikerjakan saat ini seperti yang sudah saya utarakan pada artikel “Ribut-Ribut Presiden Jokowi 3 Periode” adalah bersatu membantu Presiden Jokowi dalam menangani perang melawan setan siluman covid-19 dengan menjalankan 10 tindakan yang harus dilaksanakan, kemudian menyusun kekuatan politik dalam bentuk kerjasama Front Nasional Revolusioner yang kuat laksana 1000 Gledek menjadi satu untuk menghadapi kekuatan-kekuatan reaksioner dari manapun datangnya baik dalam maupun luar negeri  yang ingin menguasai kekuasaan politik yang sah di NKRI dan merubah dasar negara Pancasila dan UUD45  asli sesuai dengan keyakinan ideologi mereka.  Yang bersangkutan dapat datang dari kekuatan-kekuatan kaum Liberal Kapitalistik,  kelompok ideologi Khilafah maupun Komunis ke kiri-kirian yang terjangkit penyakit kekanak-kanakan/ infantil disorder.

Memang bukan suatu pekerjaan yang gampang bahkan jelas sulit akan tetapi sangat mungkin diwujudkan secepatnya, karena kekuatan-kekuatan tadi jelas ada dan nyata. Oleh sebab itu hayo maju ke muka tempa  Persatuan Nasional Revolusioner sehingga pelaksanaan Pilpres 2024  dapat terlaksana dengan sukses di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Vivere Pericoloso !!

Jakarta, Tgl. 1 September 2021

Guntur Soekarno 

Pemerhati Sosial

Diary, GUNTUR SUKARNOPUTRA 1944- 2021 – (8), “HUJAN KRITIK UNTUK PRESIDEN JOKOWI” | KORAN JOKOWI

Tentang Koran Jokowi 4190 Articles
MEDIA INDEPENDEN RELAWAN JOKOWI : *Alumni Kongres Relawan Jokowi 2013 (AkarJokowi2013), *Aliansi Wartawan Non-mainstream Indonesia (Alwanmi) & Para Relawan Jokowi Garis Lurus lainnya.

1 Trackback / Pingback

  1. Diary, GUNTUR SUKARNOPUTRA 1944- 2021 – (10), "PERLUKAH ADA AMANDEMEN LAGI ? " - KORAN JOKOWI

Tinggalkan Balasan