
NGopitainmen (32)
“IBU SUNDA INI BERNAMA INGGIT GANARSIH, CINTA SEJATINYA BUNG KARNO “
Koranjokowi.com, Jakarta :
Edisi NGopitainmen tgl.24/8/2022 lalu saat hadir di Jatinegara Food Station (JFS) Jakarta Timur lalu sebetulnya saya sedang kangen ‘mamih di Bandung, beliau adalah perempuan sunda yang saya cintai sebagaimana almh.ibu Dewi Sartika – Tokoh Pendidikan Sunda dan para ibu kami masing masing. Namun kekangenan ini terobati sesaat teman teman tercinta hadir disekitar saat itu.
Dan kali ini sengaja ‘NGopitainmen merasa penting untuk me-reshare sosok beliau kepada pembaca dimana saja berada. Be health ya semua.
Bagi kami, Ibu Inggit Ganarsih merupakan salah satu perempuan sunda yang dahsyat , yang memiliki jasa yang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia, bagaimana tidak, karena beliaul yang selalu setia mendampingi Presiden Ir.H. Soekarno dimasa-masa sulitnya, kalau pun kemudian berakhir dalam ‘kesembunyian sejarah hingga saat ini, baik disengaja atau tidak.
Ibu Inggit memang 2nd heart Presiden Soekarno, Bung Karno, sipemilik gigi ginsul yang seksi. Beliau yang ikut membiayai perjuangan Soekarno mulai dari biaya kuliahnya hingga aktivitas politiknya. Bahkan di tahun 1927, ibu Inggit ‘meng-ikhlaskan rumahnya sebagai tempat deklarasi berdirinya organisasi politik Perserikatan Nasional Indonesia.
Ibu Inggit muda diperankan oleh artis Maudy Koesnaedi
Ibu lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888, berarti jika beliau masih hidup saat ini telah berusia 132 tahun, Ia awalnya terlahir dengan nama Garnasih, merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit.
Ibu saat muda adalah kembang desa di kampungnya. Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya. Ia pernah dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Kemudian, ia menikah lagi dengan Haji Sanusi, seorang pengusaha yang juga aktif di Sarekat Islam, sayang karena politik ia sering ditinggal oleh suami.
Bung Karno menikahi ibu tgl.24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Mereka adalah Duda dan Janda resmi.
Saat pernikahan itu Bung Karno adalah mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB), Jarak usia yang terpaut 13 tahun lebih muda tidak kuasa menghalangi rasa cinta Sukarno kepada Ibu yang berprilaku sederhana, jago masak, hangat dan ke-ibuan
Perjalanan rumah – tangga ke-2nya penuh asam garam, Ketika Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929 dan dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin, ibu tidak pernah lelah memberikan semangat kepada suaminya itu. Setiap menjenguk Bung Karno di penjara, ibu kerap kali menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya agar Sukarno bisa membujuk penjaga untuk membelikannya surat kabar. Ibu pun berperan sebagai ‘penghubung’ antara para aktifis dengan Bung Karno, disanalah kemudian dikenal makanan ‘Colenak’, Dicocol – enak, makanan khas sunda terbuat dari Tape bakar, gula jawa cair dan parutan kelapa.
Makanan ini biasanya diselipkan surat untuk Bung Karno dari teman temannya diluar penjara melalui ibu jika datang membesuk. Selama Sukarno dibui, Inggit juga menjadi perantara suaminya agar bisa terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya
Juga diperiode tahun 1934 – 1938, saat Bung Karno dibuang di Ende,NTT. Dia meminta Inggit, Ibu Amsi (ibunya ibu Inggit/ibu mertua BK) , Omi putri angkat dan 2 pembantu setia mereka Muhasan (Encom) dan Karmini ikut serta. Disana komunikasi dengan aktifis jawa tetap berjalan berkat ibu, salah satunya melalui ‘buah Labu’, surat surat dari sahabat Bung Karno disimpan dalam buah labu , ibu pura2 membeli buah labu itu dan seterusnya.
Ibu Amsi meninggal karena Malaria dan dimakamkan disana, tanpa bantuan pemerintah kolonial, Bung Karno, ibu dan kawan-kawannya di Ende lah yang menggotong jenazah Ibu Amsi naik bukit, masuk ke tengah hutan. Bung Karno juga ikut turun ke liang lahat dan menyempurnakan tata cara penguburan menurut Islam sekaligus menuliskan tulisan IBOE AMSI di nisan
Rumah pengungsian di Ende , NTT. Ibu Amsi duduk dikursi sebelah kiri.
Makam Ibu Amsi di Ende, NTT
Tanggal 1 Juni 1943, Bung Karno menikahi Fatmawati. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pertama, Fatmawati-lah yang menjadi first lady alias ibu negara. Sementara Inggit tetap sendiri dan masih tinggal di Bandung
Ibu dan Bung Karno bercerai di Pegangsaan Timur 56 yang disaksikan oleh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur. Sekalipun bercerai tahun 1942 dan Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal.
Saat ibu Inggit sakit, dan tahu jika Bung Karno menikah lagi dengan Fatmawati, Bung Karno, yang dipanggil ‘Kusno, datang menjenguk ibu Inggit yang terbaring lemah kerumahnya sekitar tahun 1960-an, beliau tetap tersenyum dan berkata. “Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini,” begitu bisiknya dan memohon agar BK segera meninggalkan rumah.
Ibu Fatmawati beserta Ali Sadikin & istrinya, Nani Sadikin.
Ibu sudah sejak lama memaafkan Bung Karno, seperti yang terucap saat pertemuan mereka di Bandung pada 1960 itu juga memberikan maafnya kepada Fatmawati yang menemuinya pada 7 Februari 1984 dengan mediasi Ali Sadikin. Kurang dari 2 bulan setelah perjumpaan penuh haru itu, Inggit meninggal dunia.
Ibu adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia membela Bung Karno yang dituduh menulis surat bernada minta ampun pada Jendral Verheyen dan mengatakan “itu mah pamali, itu mah mustahil”.
Ibu Inggit saat sakit
Ibu telah memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Dan Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri tanpa penghormatan sebagaimana layaknya kecuali nafkah tiada seberapa dari negara. Bahkan rumahnya itu ia dapat dari hasil ‘patungan’ sahabat sahabat Bung Karno.
Dalam sakitnya ia tetap seorang ‘ibu, tiada keluh – kesah, ibu ikhlas atas semua itu. Hingga ibu wafat pada 13 April 1984, usia 96 tahun. Dan, … maaf …. ibu dimakamkan … (hanya) …di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Porib, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung. Juga, … tanpa upacara layaknya melepas seorang pahlawan yang berjasa membentuk pribadi tangguh seorang tokoh Proklamator.
IBU INGGIT TELAH MENGILHAMI PEREMPUAN PEREMPUAN SUNDA DAN PEREMPUAN DAHSYAT INDONESIA LAINNYA AGAR TIDAK MENJADI PEREMPUAN INDONESIA YANG LEMAH.
Innalillahiwainailahirajiun, Alfatehah…
-BERSAMBUNG-
(Red-01/Foto.ist)
Lainnya,
NGopitainmen (31) “SAUCIKO : JEBULE JANJIMU, JEBULE SUMPAHMU RA BISO DIGUGU ” – KORAN JOKOWI
Ngopitainmen (17), ” ALOHA, DI MY COFFEE ADA KOPI GULA AREN , NENEK MOYANG & PANTAI HAWAII !? “
Be the first to comment