
Marsantabi, Santabi Da Oppung : ‘SELAMAT DATANG KAMPOENG MANASIK KOTA BINJAI SUMATERA UTARA” – (1)
“BERMALAMLAH DISINI, DI KOTA BINJAI “
Koran Jokowi.com, Kota Binjai : Teman teman KoranJokowi.com dimana saja berada, Kota Binjai (sekarang) jauh sebelum tahun 1800-an merupakan perkampungan yang berada di jalur yang kerap digunakan oleh “Perlanja Sira” , pedagang dari dataran tinggi Karo dan menukarnya (barter) dengan pedagang garam di daerah pesisir Langkat.
Kota Binjai terletak di antara Sungai Mencirim di sebelah timur dan Sungai Bingai di sebelah barat, dan diapit dua kerajaan Melayu yaitu Kesultanan Deli dan Kerajaan Langkat. Saat itu kota Binjai adalah sebuah kampung yang kecil terletak di pinggir Sungai Bingai (sekarang bernama Pekan Binjai).
Upacara adat dalam rangka pembukaan Kampung tersebut diadakan di bawah sebatang pohon Binjai (Mangifera caesia) yang rindang yang batangnya amat besar, dan banyak tumbuh sekitar sisi Sungai Bingai yang bermuara ke Sungai Wampu, sungai yang cukup besar dan dapat dilayari perahu dagang besar saat itu
Di sekitar pohon Binjai yang besar itulah kemudian dibangun beberapa rumah yang lama-kelamaan menjadi besar dan luas yang akhirnya berkembang menjadi bandar atau pelabuhan yang ramai didatangi oleh tongkang-tongkang yang datang dari Stabat, Tanjung Pura dan juga dari Selat Malaka. Kemudian nama pohon Binjai itulah yang akhirnya melekat menjadi nama kota Binjai. Konon pohon Binjai ini adalah sebangsa pohon embacang dan istilahnya berasal dari bahasa Karo.
Dalam versi lain yang merujuk dari beberapa referensi, asal-muasal kata “Binjai” merupakan kata baku dari istilah “Binjéi” yang merupakan makna dari kata “ben” dan “i-jéi” yang dalam bahasa Karo artinya “bermalam di sini”.
Pengertian ini dipercaya oleh masyarakat asli kota Binjai, khususnya etnis Karo merupakan cikal-bakal kota Binjai pada masa kini. Hal ini berdasarkan fakta sejarah, bahwa pada masa dahulu kala, Perjalanan yang ditempuh Perlanja Sira ini hanya dengan berjalan kaki menembus hutan belantara menyusuri jalur tepi sungai dari dataran tinggi Karo ke pesisir Langkat dan tidak dapat ditempuh dalam waktu satu atau dua hari, sehingga selalu bermalam di tempat yang sama, begitu juga sebaliknya, kembali dari dataran rendah Karo yaitu pesisir Langkat, Para perlanja sira ini kembali bermalam di tempat yang sama pula, selanjutnya seiring waktu menjadi sebuah perkampungan yang mereka namai dengan “Kuta Benjéi”.(Red-01/Taviv/Yandi/Zhaikan;Foto.ist)
-BERSAMBUNG –
1 Trackback / Pingback