
Tirto Adhi Soerjo Mengajarkan Bagaimana Jurnalis Bersikap
Koranjokowi.com, OPIni :
Pers di Indonesia dikenal sejak abad ke-18, dimana Belanda merasa penting untuk menerbitkan berupa surat kabar bernama ‘ Bataviase Nouvelles (Agustus 1744-Juni 1746), yang pastinya berisi propaganda mereka sebagai negara bersahabat dalam memajukan Indonesia, sayangnya dalam beberapa edisi lebih dipenuhi oleh iklan.
Hingga akhirnya, terbitlah surat kabar pertama buatan orang Indonesia di Bandung pada tahun 1907 bernama “Medan Prijaji” yang ditulis oleh Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini merupakan pelopor lahirnya pers di Indonesia dan menjadi awal mula pers menyuarakan kebebasan dalam berpendapat. Banyak dari tokoh penggerak di Indonesia ikut penerbitan surat kabar ini, seperti Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara dan Soekarno.
TAS duduk nomor 3 dari kiri
Surat kabar ini lebih dianggap mewakili perjuangan bangsa Indonesia juga sarana untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Kemudian menyusul surat kabar Benih Merdeka, Sora Ra’Jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem serta lahir pula organisasi Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) pada tahun 1933 yang diprakarsai oleh Mohammad Yamin, W.R Supratman.
Tirto Adhi Soerjo / Raden Mas Djokomono yang sering disingkat T.A.S.. Manajemen keredaksiannya menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Ini yang membuat Belanda naik pitam , TAS dianggap ‘srigala liar’ yang harus disingkirkan.
TAS yang juga pendiri surat-kabar Soenda Berita (1903-1905), dan Putri Hindia (1908) ini memang ‘Srigala Media’ , meraung-raung tanpa ampun dalam bentuk tulisan sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
TAS juga ibarat ‘belut’ susah ditangkap Belanda, dia bergerilya memimpin manajemen redaksinya. Sampai suatu waktu ia pun ditangkap karena ada teman yang ‘berkhianat’ dan melaporkannya ke Provost Belanda, TAS pun diciduk dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara) hingga tahun 1918 dia wafat karena ashma dan depresi. Dia memilih dipenjara dari pada menjadi ‘jurnalis pengecut.
Pada 10 November 2021, nama R.M. Tirto Adhi Soerjo diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bogor, dan diresmikan oleh walikota Bima Arya. Demikian terhormat.
Indonesia masih membutuhkan banyak jurnalis sekaliber TAS, itu yang saya tangkap ‘The edge’ atas diselenggarakannya Pelatihan Jurnalistik ‘Tanpa judul’ di Sekretariat LSP – Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia, Komplek Ruko Ketapang Indah, Jakarta Barat hari ini (Sabtu, 29/7/2023) yang diikuti lebih dari 30 orang perwakilan media OL.
Semua yang dipaparkan Hence Mandagi (Ketum LSPPI) yang pernah mempolisikan eks Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya di Badan Reserse dan Kriminal Polri Jakarta, Selasa (7/2/2023) lalu ini cukup lugas bagaimana 5W + 1 H itu demikian fleksibel penggunaannya dalam membuat satu berita. Ibarat fotographer, semua mempunyai kebebasan dalam menentukan sudut-bidik (angle foto) juga bagaimana menempatkan 5W + 1H tersebut.
Termasuk yang disampaikan Ketua Dewan Pengawas LSP Pers Indonesia – Soegiharto Santoso (Hoky) dan sederet jabatan prestisius lainnya baik dalam asosiasi profesi komersil dsb. Hoky menegaskan dimana dalam menghadapi Bonus Demografi tahun 2045 mendatang para pekerja media (jurnalis) harus terus mengasah perfomance dan pengetahuan profesi lebih aktif lagi. Apalagi dengan perkembangan tekhnologi melalui internet yang demikian pesat sehingga lahirlah media – media OL, Podcast, Youtube dan produk sosmed lainnya,
Yang tidak jika disikapi sejak sekarang maka akan tertinggal oleh generasi dibelakang yang telah siap pakai dalam segala hal. “Kami sudah mengantisipasi itu jauh hari maka terbitlah LSPPI, biskom.com, televisi dsb. Kami terbuka kepada teman teman jurnalis untuk mengembangkan profesi dengan lebih baik”, papar Hoky yang juga Ketum APTIKNAS – Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
Hoky dan koleganya juga mempunyai program mulia lainnya yang pastinya keterkaitan dengan ‘pre-Bonus Demografi 2024 yang bisa dikaitkan dengan dunia jurnalis nasional yaitu melalui program Nasional 2023 ‘APTIKNAS Smart Nation’, satu tema program nasional karena sudah dirasakan sangat perlu melakukan sinergi pengembangan skala TIK menuju ‘Digital Leadership.
Apalagi kata Hoky tingkat Penetrasi Imternet Nasional semakin meningkat, jika di tahun 2022 sekitar 77.02% dari jumlah penduduk maka di tahun 2023 meningkat mencapai 78,19% dari jumlah penduduk > 275,7 Juta jiwa. Ini adalah potensi besar bagi para jurnalis yang menggarap Media Online (Daring – Dalam Jaringan) khususnya dalam menyiasati Bonus Demografi 2045 yang sebagian orang menyebutnya sebagai ‘hantu.
Yang jika disikapi dan dikerjakan secara profesional akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi pekerja media , Analis sistem, pemrogram komputer, perancang web, pengembang perangkat keras dan perangkat lunak, dan banyak peluang baru lainnya yang diciptakan oleh teknologi komunikasi informasi (TIK).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak dilantik thn.2014 demikian berharap agar Kemeninfo demikian serius melihat Pengguna internet di Indonesia yang semakin meningkat per-tahunnya, salah-satunya adalah dengan mempercepat program Internet Desa sebagaimana komitmen beliau di APEC 2018 lalu bahwa saat ini baru sekitar 5000 desa yang sudah terkoneksi internet dari 77.000 desa.
Dengan kejadian tertangkapnya Johnny Gerard Plate lalu, ini menunjukan bahwa seorang menteri pun masih ‘gagap Information and Communication Technology (ICT), hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompoknya maka bagaimana mau mengejar target tersebut apalagi menciptakan SDM ICT yang profesional sesuai MEA 2007, dimana TIK merupakan salah satu sektor yang menjadi prioritas.
Akankah Budi Arie selaku menteri baru ini juga adalah sosok yang paham ICT?, kita harus kerap mengingatkannya selaku jurnalis independen hingga 200 hari kerjanya mendatang.
Teman teman Relawan & Jurnalis independen dimana saja berada,
Bagi Presiden Jokowi, demokrasi ialah mendengar suara rakyat. Untuk dapat mendengar aneka ragam suara rakyat (diverse voices), strateginya pasti bukan dengan meniadakan kebebasan pers, tetapi dengan melindungi dan menjamin kebebasan pers. Maka beliau demikian mendukung bahwa Pers adalah Pilar ke-4 demokrasi setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dan kita sebagai pekerja media (pers/jurnalis) patut terus mengasah dan menambah profesionalitas kita dengan ‘mau terus belajar ‘ sebagaimana pesan dari Pelatihan Jurnalistik ‘Tanpa Judul’ tadi.
Hoky, Hence dan kita semua yang hadir hari ini memang bukan Tirto Adhi Soerjo / Raden Mas Djokomono (TAS), namun kita pasti mampu untuk seperti almarhum, pekerja keras dan berani menulis dengan kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintah secara profesionalitas Jurnalis. Didasari profesionalitas profesi & attitude jurnalis yang baik.
Insyaallah
Mohon maaf lahir bathin.
(Red-01/Foto.ist)
Lainnya,
” SEMANGAT RATU BOUDICA MENYERTAI FORUM WARTAWAN MAHKAMAH AGUNG “
” SEMANGAT RATU BOUDICA MENYERTAI FORUM WARTAWAN MAHKAMAH AGUNG “ Koranjokowi.com, OPini : Kerajaan Romawi jauh sebelum abad 60 SM telah dikenal sebagai bangsa perang yang dengan sadisnya membantai suku Iceni (Inggris) tanpa ampun, termasuk […]

Surat Forum Silaturahmi Wartawan MA Untuk Ketua MARI Tentang Forum ‘Abal-abal
FORUM SILATURAHMI WARTAWAN LINGKUNGAN MAHKAMAH AGUNG RI Jl. KH. Zainul Arifin, Komplek Ketapang Indah, Blok B2, No. 33 & 34, JakBar. Jakarta, 05 Juni 2023 Nomor : 01/LHSW/FSWL-MA/VI/2023 Lampiran : Daftar Hadir Peserta Dan Dokumentasi […]
Be the first to comment