
MASJID AL JABBAR TINGGALKAN HUTANG?
Koranjokowi.com, OPINi:
Senin (1/5/23) lalu kami berkunjung ke Masjid Al Jabar, yang mulai didesain tahun 2015 oleh Ridwan Kamil sebagai Masjid Raya tingkat Pemerintah Daerah Provinsi. Bangunan utama dirancang dengan luas lantai 99 x 99 m2 sesuai angka Asmaul Husna. Masjid Raya Al-Jabbar , MRAJ /Masjid Terapung Gedebage adalah sebuah masjid yang berada di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Pembangunannya menelan anggaran hingga Rp.1 triliun dari dana APBD, masjid ini mulai dibangun pada tahun 2017 di atas danau buatan dan baru selesai pada tahun 2020.
Saat itu saya berpikir positip, untunglah jika dananya cukup dari APBD atau CSR pihak manapun maka kita mendukung pembangunan masjid ini.

Masjid ini diprakarsai pembangunannya oleh Ahmad Heryawan. Peletakan batu pertama masjid ini dilakukan pada tanggal 29 Desember 2017 oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.
Bangga dan terharu pastinya kami dapat menikmati semua yang disajikan, namun pagi ini seolah ‘jantung’ berdetak keras saat dimedsos dan media2 mainstream mengatakan bahwa pembangunan masjid ini dibangun dari uang hutang melalui Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp 3,4 triliun dibagi dua termin. Termin pertama sebesar Rp 2,2 triliun, cicilannya tahun ini memasuki tahun keempat. Untuk termin kedua, sebesar 1,2 triliun, baru akan selesai 2029. Cicilan yang harus dibayar Pemprov Jabar sebesar Rp 566 miliar per tahun hingga 2028. Di tahun terakhir, cicilan yang tersisa Rp 211 miliar.

Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi kepada media mengatakan bahwa dirinya baru tahu jika Masjid Al Jabbar dibangun menggunakan ‘hutang’ Rp 3,4 triliun pada 2021 terkait Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) salah satunya digunakan untuk merampungkan Masjid Al Jabbar. Jadi bukan semua dana itu untuk Masjid Al Jabbar.
Pembangunan mesjid raya itu sendiri telah dimulai sejak tahun 2017 lalu, ketika Ahmad Heryawan menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Pembangunannya berlanjut di era Ridwan Kamil, dan selesai pada 30 Desember 2022.
Saat pembangunan banyak yang tidak setuju karena menghamburkan uang, apalagi sudah ada 50.000 masjid di Jawa Barat, dan baikanya dana itu untuk program pendidikan, menanggulangi kemiskinan, memperbaiki infrastruktur dan gedung-gedung sekolah yang masih banyak yang rusak di provinsi Jabar.

KASUS SERUPA TAPI BUKAN SOAL MASJID AL JABBAR
Saya pernah baca https://konsultasisyariah.com/2208-bolehkah-berhutang-ke-bank-untuk-membangun-masjid.html ….. dan menarik untuk dibacanya yaitu
Pertanyaan
Kami sekelompok imigran muslim yang berasal dari Maroko, tinggal di Jerman, dan kami memiliki satu tempat yang kami sewa untuk menjalankan shalat berjama’ah setiap saat, shalat Jum’at, dan hari raya. Dan karena banyaknya orang yang shalat di sana –alhamdulillah- pemerintah Jerman melarang kami untuk shalat di sana, dengan alasan tempat tersebut sempit dan tidak cocok. Dan sekarang kami merencanakan untuk membeli suatu tempat yang luas di luar kota, dan pemerintah Jerman telah memberikan izin kepada kami untuk membelinya. Harga tempat tersebut adalah 3,5 juta Mark, dan kami sekarang baru memiliki dana 1,5 juta Mark. Apakah boleh bagi kami untuk berhutang kekurangan dana tersebut dari bank dengan membayar bunga, agar dapat membeli tempat tersebut, dan apakah keadaan ini tergolong ke dalam darurat (dharurat)? Dan bila telah terlanjur dibeli dengan uang riba, bolehkan kita shalat di dalamnya, hingga didapatkan tempat lain untuk shalat di negeri ini? Mohon jawabannya, semoga Allah membalas kebaikan Anda semua.
Jawaban:
Tidak boleh bagi kalian untuk berhutang dengan bunga/riba, karena Allah telah mengharamkan riba, dan memberikan ancaman yang keras kepada pelaku riba. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati orang yang memakan riba, yang memberikannya, kedua saksinya dan penulisnya, dan riba tidak dibolehkan dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kalian untuk membeli tempat tersebut kecuali bila kalian memiliki kemampuan finansial untuk membelinya tanpa harus berhutang dengan riba.
Dan shalatlah sesuai dengan kemampuan kalian, baik dengan satu jama’ah atau dengan terbagi-bagi menjadi beberapa jama’ah di tempat yang berbeda-beda. Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
(Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 13/295, fatwa no. 20002).
-Red-01/foto.ist-



https://www.facebook.com/profile.php?id=61557277215737
Be the first to comment