“SAYA, SUHARTO & POLITIK AMIEN RAIS DARI MASA KE MASA”
Koranjokowi.com, Bandung:
Sebelumnya terima-kasih kepada senior SHE atas keberkenaannya saya re-post tulisan lawasnya ini yang pastinya tiada pernah lekang karena waktu, mohon maaf juga ada sedikit saya edit judul dan beberapa narasinya, ini semua agar semakin ‘Gasken, nuhun senior.
…
Pameran dagang Hannover Fair digelar pada April 1995. Indonesia adalah negara Asia Tenggara pertama yang jadi mitra dagang Jerman. Presiden daripada Soeharto akan menghadiri perhelatan tersebut. Amnesty Internasional yang bermarkas di London juga hendak ambil bagian. Menurut laporan Forum Keadilan (11 Mei 1995), para aktivis hendak menjadikan Hannover Fair sebagai ajang mempermalukan Soeharto.
Tidak sampai situ, rombongan Soeharto yang menggunakan bis-bis itu dikerubungi demonstran ketika hendak pergi dari Museum. Para demonstran menggoyang-goyang bis-bis tersebut.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Soeharto. Juga betapa ketakutan para pembantu-pembantunya. Pada saat itulah, diplomat paling terkemuka Indonesia, Ali Alatas, sang Menteri Luar Negeri Indonesia, terlihat mengacungkan jari tengahnya kepada para demonstran.
Para aktifis itu tidak hanya mengacung-acungkan poster, tapi ada [juga] yang melempar-lempar telur, melempar kertas, dan lainnya. Dalam catatan redaksi ada beberapa nama aktifis besar diantaranya Sri Bintang Pamungkas, Goenawan Mohamad, Yeni Rosa Damayanti , SHE dsb sebagai biang kerok peristiwa yang disebut sebagai Insiden Dresden.
Kejadian ini membuat gaduh kalangan TNI dan Paspampres , bahkan gosipnya Setelah Soeharto pulang dari Dresden, komandan Paspampres diganti. Tongkat komando berpindah dari Brigadir Jenderal Jasril Jacub kepada Mayor Jenderal Sugiono. Pada tahun 1995 pula tugas Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Komandan Grup A (grup pengawal presiden) di Paspampres berakhir. Ia digeser menjadi Komandan Korem 061/Surya Kencana di Bogor
Titik !
Nah dibawah ini adalah artikel ‘True-story SHE yang kami kutipkan atas ijin beliau, check it dot !
….
Rangkaian peristiwa di Jerman selama bulan April tahun 1995 itu telah menyita perhatian semua mass media di tanah air baik media cetak maupun elektronik atau stasiun-stasiun Televisi, hingga tiada hari tanpa pemberitaan peristiwa tsb. Sayangnya Mas Amien Rais dan beberapa tokoh oportunis lainnya saat itu malah mencemooh kami, dan menganggap kami telah mempermalukan Indonesia di Luar Negeri yang diibaratkannya dengan menjemur pakaian dalam di halaman rumah tetangga. Anehnya ketika rezim Soeharto mengirim puluhan inteligentnya ke Jerman dan tidak dapat membawa satupun dari kami untuk pulang, bahkan dukungan pada perjuangan kami terus deras mengalir dari Tanah air, Mas Amien Rais (MAR) beberapa bulan kemudian berubah pikiran menjadi kritis pada rezim Soeharto.
Dalam situasi seperti itu saya melihat telah terjadi inkonsistensi seorang MAR. MAR tak lagi patuh pada kesepakatan ICMI sebelumnya yang juga mengundang pesimisme dari saya, bahkan yang terjadi kemudian MAR malah melawan BJ. Habibie yang sebelumnya jadi Ketua Umumnya di ICMI. MAR sepertinya tidak ingin jika saja Soeharto mengundurkan diri kekuasaan akan dilimpahkan pada BJ. Habibie. Inginnya MAR itu kekuasaan dilimpahkan oleh Soeharto pada dirinya yang sebetulnya sama sekali tidak berkeringat karena ia hanya memanfaatkan massa aksi yang sudah terbentuk.
Beruntung sekali ada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU. Gus Dur memiliki akar dukungan kuat, banyak dan nyata, yang tidak hanya terdiri dari warga Nahdliyin, melainkan juga dari masa Pro Demokrasi (Prodem) yang terdiri dari lintas ummat beragama. Melihat kenyataan itu MAR tentunya sudah bisa memprediksi, bahwa ia bakalan kalah tarung politik melawan Gus Dur untuk posisi RI 1.
Tak lama kemudian MAR membentuk Poros Tengah bersama Yusril Ihza Mahendra, Akbar Tanjung dll. untuk mendukung Gus Dur untuk jadi presiden. Tapi bagaimanapun Srigala tetaplah Srigala, sifat aslinya tak lama kemudian muncul lagi, Gus Dur ia adu domba dengan Mbak Mega, dengan TNI dan dengan POLRI sampai kemudian Gus Dur jatuh di tengah jalan.
Disitulah stabilitas politik Nasional itu mulai kacau kembali sampai sekarang, karena MAR selalu mendengungkan politik identitas atau gagasan Islam representative. Islam Politik akhirnya terus tumbuh menjamur, yang menjadikan gagasan Islam representative cetusannya menjadi tujuan utama gerakan politiknya, dimana kalau Pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak dikuasai oleh orang Islam dianggapnya itu merupakan pemerintahan zhalim.
Celakanya Islam yang dimaksudkan MAR disini adalah Islam Politik versinya sendiri, dimana semuanya dari mereka harus menganggapnya (Amin Rais) sebagai pemimpin, dan kalau tidak mau nurut pada kepemimpinannya maka akan dianggapnya bukan Islam atau pengikut Partai Setan yang harus diperangi. Itulah luar biasanya kejahatan politik MAR ini.
..SHE berkopiah…
Sebagai mantan juniornya yang sedikit banyak pernah mendapatkan ilmu darinya, saya berharap semoga Mas Amin segera menyadari kejahatannya, dan kembali menjadi pemikir muslim yang lebih jujur, jernih dan beradab di usia senjanya ini. Dulu bangsa ini hebat dan banyak melahirkan tokoh-tokoh pemikir dari berbagai lintas agama yang memukau. Banyak perdebatan satu sama lain saat itu, namun semuanya dilakukan tanpa mengobarkan perang.
Lupakah MAR dengan polemik Cak Nurcholish Madjid, Gus Dur, Frans Magnis Suseno, Jalaluddin Rahmat, Buya Syafe’i Maarif, Kang Sobari, Ahmad Somargono, Romo Muji Sutrisno, Ridwan Saidi, Immaduddin Abdurrahim (Bang Imad), Adi Sasosono, Dawam Raharjo, Kunto Wijoyo, Romo Mangun dll. di masa-masa sebelum Rezim Soeharto terjungkal? Semuanya indah tanpa pertumpahan darah, namun sayang ambisi politik MAR yang sangat buas ingin menjadi RI 1 semuanya kini menjadi kacau balau. Istighfarlah MAR !…
MEDIA INDEPENDEN RELAWAN JOKOWI : *Alumni Kongres Relawan Jokowi 2013 (AkarJokowi2013), *Aliansi Wartawan Non-mainstream Indonesia (Alwanmi) & Para Relawan Jokowi Garis Lurus lainnya.
3 Trackbacks / Pingbacks