
SUMBER BENCANA BAGI MASYARAKAT KITARAN KALDERA TOBA – (10), “SEHARUSNYA KEMENLHK MELARANG PT.TPL MENEBANG POHON, KENAPA SEBALIKNYA !?”
Koran Jokowi.com, Jakarta : Kalimat terakhir pada edisi ke 9…..Dalam hutan lindung disebut perijinan berusaha pemantauan hutan( PBPH) pada hutan lindung, dalam HP disebut (PBPH) pada hutan Produksi. Berlanjut kebagian (10)……… PBPH Pada Hutan Lindung salah satunya pemungutan hasil hutan bukan kayu berupa rotan , madu, getah , buah, biji, jamur, daun bunga, sarang burung wallet dan atau hasil hutan bukan kayu lainnya dilakukan dengan ketentuan : Hasil hutan kayu yang dipungut harus tersedia secara alami dan atau hasil rehabilitasi, tidak merusak lingkungan; tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, dan memungut hasil hutan baku sesuai jumlah, berat atau volume yang dijinkan. Jangka waktu pemanfaatan hutan ada hutan lindung paling singkat 35 tahun.
PBPH pada Hutan Lindung bukan kayu pada prinsipnya melarang menebang pohon pada areal PBPH, melakukan pemanenan atau pemungutan hasil hutan melebihi daya dukung hutan memindahkan PBPH kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perijinan berusaha, membangun sarana prasarana yang mengubah bentang alam, menggunakan peralatan mekanis dan alat berat atau meninggalkan area kerja. PBPH pada hutan produksi diberikan untuk jangka waktu 90 tahun.
PBPH pada hutan produksi dilarang diberikan dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan , kawasan hutan yang telah dibebani PBPH, Kawasan hutan yang telah diberikan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial ,dan Kawasan hutan yang diberikan persetujuan penggunaan Kawasan hutan dan pelepasan Kawasan hutan. PBPH pada hutan lindung tidak boleh diberikan kepada PBPH pada hutan Produksi.
Begitu pula sebaliknya. Rujukannya pasal 31 ayat (3) huruf C PP 23/2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan yang berbunyi: “Hutan produksi tetap diluar Kawasan hutan lindung, Kawasan hutan suaka alam, Kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan sebagaimana diubah dalam UU 11/ 2020 tentang Cipta Keja pasal 36 NO. 12 yang mengubah ketentuan pasal 82 ayat (3) huruf a,b dan c yang intinya korporasi menebang pohon dalam Kawasan hutan tidak sesuai dengan perijinan berusaha terkait pemanfaatan hutan , penebangan pohon dalam Kawasan hutan tanpa memiliki perijinan Berusah dari Pemerintah Pusat dan melakukan penebangan pohon dalam Kawasan hutan secara tidak sah , Pengurusnya dipidana paling singkat 5 tahun paling lama 15 tahun denda paling sedikit Rp. 5 miliyar, paling banyak Rp.15 miliyar. Korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
Temuan hasil investigasi, TPL menanam eukaliptusdi dalam Hutan Lindung yang masuk dalam areal kerja PT.TPL tahun 2007, alat berat mereka menebang kayu alam dititik N 04 62’ 725” E 02 74 ‘ 3 “,sekitar 318 meter dari jarak penebangan. Tahun 2021 tim investigasi menemukan bahwa areal tersebut telah ditanami eukaliptus. Artinya tanaman eukaliptus yang ditemukan tim Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh PT.TPL tahun 2017. Temuan lainnya TPL telah melakukan penebangan hutan alam jenis kayu Kulim dan Kempas dengan diameter lebih dari 30 cm didalam Hutan Produksi Tetap(HPT) Dua jenis kayu ini termasuk tanaman yang dilindungi sesuai dengan PermenLHK No 20/2018 tentang jenis tumbuhan dan Satwa yang dilindungi terbit pada 29 Juni 2018.
Enam bulan kemudian Pada 28 Desember 2018 Terbit Permen LHK No 20/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Permen LHK tersebut bertentangan dengan moratorium hutan sejak tahun 2010 hingga 2019 yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam bentuk Inpres. Inpres terakhir bukan lagi moratorium tapi penghentian permanen, merujuk pada Inpres No. 15/2019 tentang penghentian pemberian ijin baru dan penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Hutan Gambut terbit tanggal 17 Agustus 2019.
Salah satunya Menteri LHK harus menetapkan Peta Indikatif Penghentian pemberian Ijin Baru ( PIPIB) hutan alam Primer pada Kawasan hutan yang telah direvisi serta melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan alam primer melalui perbaikan tata Kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan alam primer yang ditetapkan pada PIPIB. Semestinya Kawasan hutan areal dalam konsesi TPL yang masih berupa hutan alam secepatnya direvisi oleh KLHK untuk dimasukkan dalam PIPIB agar tidak ditebang oleh TPL.Penebangan akan berpengaruh pada peningkatan emisi.
2.2 Pertanahan : Areal kerja TPL yang dalam Areal Penggunaan Lain (APL), umumnya berada diluar Kawasan hutan sehingga bertentangan dengan UU Kehutanan maupun UU Pokok Agraria. Menurut Regulasi ini , pada prinsipnya APL berada diluar Kawasan hutan pula. Tidak boleh ada ijin atau Perijinan berusaha dikawasan hutan dalam APL. Mengelola APL yang berasal dari Kawasan hutan menjadi kewenangan Menteri Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional ( ATR/BPN). Dalam kehutanan dikenal pola Kerjasama antara masyarakat dengan Korporasi berupa kemitraan kehutanan merujuk pada Permenhut 39/2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan.
Kemudian pada tahun 2016 terbit P.83/2016 tentang perhutanan sosial jo P.9/2021 tentang Pengelolaan perhutanan sosial .Ringkasnya kemitraan TPL dengan pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan kehutanan. Pola kerjasama dengan pendekatan PKR yang dilakukan oleh PT.TPL sesungguhnya tidak diminati masyarakat. Jadi dipaksa oleh Perusahan. Hal ini tertuang dalam Thesis yang ditulis oleh Dame S Lumban Tobing pada tahun 2015 Analisis strategic Manajemen PT.Toba Pulp Lestari untuk program Perkebunan Kayu Rakyat. ( PKR).
Analisis Dame bertujuan untuk menemukan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberhasilan program ini. Dia memaparkan bahwa TPL mengusung pola PKR Bersama masyarakat dengan menananm eukaliptus diatas tanah hak milik masyarakat. Perusahaan akan menyediakan bibit dan menanggung semua biaya dan penyiapan lahan hingga panen dan pengangkutan hasil ke pabrik. Dari Kerjasama pola PKR ini, masyarakat akan mendapatkan keuntungan berupa upah atas pengerjaan lahannya serta hasil pemanenan kayu dengan pembagian 40% (untuk masyarakat )dan 60% ( pengembalian modal investasi) yang dikeluarkan perusahaan dari awal hingga proses penanaman.
( Ring-o/Foto.ist)
Sebelumnya,
RELAWAN JOKOWI TITIP 8 MENTERI YANG LAYAK DI-RESHUFLE APRIL 2021 – KORAN JOKOWI
1 Trackback / Pingback