
Sumber Bencana Bagi Masyarakat Kitaran Toba – (17), “PT.TPL GEMAR ADU DOMBA WARGA SEKITAR !?”
Koranjokowi.com, Jakarta: Kalimat terakhir pada bagian ke 16…. Nyata bahwa kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi ini maha serius.dilanjutkan ke bagian ke 17 Demikian….Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ( FK MUI) bekerjasama dengan WALHI, juga meneliti pada 20 – 27 April 1998. Hasilnya membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran di Kawasan pabrik Sosor Ladang. Akibatnya disana resiko penyakit kulit buat ibu 7 X dan Balita 2 -5 X Saluran pernafasan 3 X buat ibu, dan 2 X buat balita; saluran pernafasan 6 X buat ibu dan juga 6X buat Balita; mata 2-3 X mual-mual 6; x syaraf 2x senantiasa membayang.
Setelan rezim Orde baru runtuh , yang ditandai lengsernya Soeharto dari kursi Ptesiden 21 Mei 1998, penolakan makin menguat. Para pecinta Danau Toba dan pengiat Lingkungan Hidup protes dan bergerak Bersama untuk menutup Indorayon. Yayasan Pecinta danau Toba dan berbagai organisasi non pemerintah , akhirnya berhasil meyakinkan Presiden BJ.Habibie sehingga Indorayon tutup sejak 19 Maret 1999.
Politik devide et Impera : Luas areal Konsesi PT.IITU/TPL beberapa kali berubah. Awalnya pada 19 November1984. Mereka memperoleh hak pengusahaan hutan 150.000 Ha. Pemerintah melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor 493/1992, meluaskannya menjadi 269.060 Ha Hutan Produksi (HP) Setelah perubahan ke 3 kali melalui SK Menteri Kehutanan nomor 179/2017 (Nomor SK.179/menlhk/setjen/HPL.0/4/2017). Luas area konsesinya menjadi 185.016 Ha. Perusahaan ini memegang ijin Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri ( IUPHHK-HTI) yang tersebar di 12 Kabupaten/kota di Sumatera Utara.Penduduk di 12 Kawasan, diperkirakan berjumlah 4,5 juta ( Rekap data penduduk masing-masing kabupaten 2019).
Data Aliansi Masyarakat Nusantara ( AMAN) Tano batak dan Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat KSPPM) menyebut, terdapat 23 Komunitas adat di Kawasan danau Toba. Lazim masyarakat adat berdasarkan marga dan menempati huta( Kampung) mereka telah ratusan tahun menempati desanya. Tanah ulayat memang sudah beratus tahun umurnya jauh sebelum InDonesia merdeka. sejak awal kerap kali Indorayon berbenturan dengan masyarakat adat.
Dalam berkonflik,, kekerasan dan pendzoliman berulang kali mereka lakukan . Ditulisan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana mereka memperlakukan penduduk desa Natumingka ,KecamataBorbor, Kabupaten Toba, pada 18 Mei 2021. Juga seperti apa sikap semena-mena mereka terhadap penduduk Nagori /desa Sihaporas Kecamatan Pematang Sidamanik. Kabupaten Simalungun pada 17 September 2019.-
Merusak tatanan Dalihan natolu :Dalihan natolu adalah filosofi sosial -budaya berbagai puak di Sumatera Utara. Istilah penyebutan pranata sosial ini aneka namun esensinya sama.Pada Batak Toba, Simalungun dan Angkola – Mandailing disebut dalihan natolu. Pada masyarakat Karo disebut Raku sitelu, dan pada orang Pakpak disebut Sangkep Nggeluh.
Dalihan natolu merupakan kerangka segitiga yang meliputi hubungan kekerebatan karena darah, atau hubungan perkawinan yang mempertalikan antar kelompok. Bunyi Filosofi ini “Somba marhula-hula”( sikap hormat- sembah kepada keluarga pihak isteri), “elek marboru”( sikap mengayomi-membujuk anak perempuan), dan “manat mardongan tubu” ( sikap berhati-hati kepada teman semarga). Dalihan natolu bukan hanya sebagai pranata sosial, melainkan juga satu system adat yang mengikat, berlaku dinamis di tengah masyarakat, menyatu dan tidak bertolak belakang dengan hukum agama dan hukum positif.
Dengan demikin Ia berkontribusi Positif bagi masyarakat yang ingin hidup Bersatu,rukun, damai dan guyub,hormat menghormati dan bergotong royong. Begitupun prinsip yang dipraktekkan turun temurun selama beratus-ratus tahun telah rusak dan terancam hancur akibat politik pecah belah Indorayon.
Membenturkan sesama warga. Selama 35 tahun beroperasi, PT.Indorayon Utama -PT.Toba Pulp Lestari acap kali menciptakan konflik horizontal ditengah masyarakat yang berada di dekat pabrik dan kosesinya . Mereka gemar mengadu domba.modusnya mereka merekrut penduduk setempat hingga ke desa-desa utuk dijadikan kontraktor ( jumlahnya sangat sedikit), atau buruh harian lepas. Kalau tidak , mereka memberi imbalan atau iming-iming ke kalangan tertentu agar sudi melakukan sesuatu. Orang yang dipekerjakan atau dibayar ini kemudian dimajukan sebagai ujung tombAk perusahaan dalam menghadapi mereka yang protes atau unjuk rasa.
……. Cara-cara memecah belah ini mereka gunakan dibanyak tempat. Di desa Natumingka , misalnya seorang ketua Komunitas adat dipengaruhi dan direkrut pada 2019. Ia diberi iming-iming yakni putra-putrimya akan dipekerjakan di TPL. Namun ada syaratnya yakni yang bersangkutan tidak boleh terlibat aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan tanah adat nenek moyang huta Natumingka…………..
Hal ini tentu menimbulkan ketidak harmonisan dikomunitas adat. Belakangan , orang ini undur diri dari jabatan ketua komunitas. Sampai sekarang , ia sama sekali tidak lagi terlibat dalam perjuangan kelompok. Politik belah bambu ini juga diterapkan TPL ke masyarakat Sihaporas. Seorang warga yang menjadi Sekretaris lembga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) sontak menyampaikan surat pernyataan mundur dari organisasi pada tahun 2020. Ia uga menyebut tidak ikut lagi dalam barisan perjuangan menuntut pengembalian tanah adat nenek moyangnya .
Sebabnya ? Menantunya, telah memjadi pekerja TPL. Akibat membelot dari komunitas adat , mantan sekretaris Lamtoras menjadi marsanding ( bermusuhan ) dengan kelompoknya. Ia tidak lagi saling sapa. Juga tidak lagi mnghadiri pesta adat sesama saudara kandung dan anggota komunitas. Tak kala saudara kandungnya meninggal dan keponakannya kemalangan . Orang itu tak lagi menampakkan diri.
( Ring-o/Foto.ist)
Lainnya,
1 Trackback / Pingback