
Melawan Lupa (92),
MENGELOLA PULAU KOMODO, MARI BELAJAR DARI TANGKUBAN PERAHU BANDUNG.
“PRESIDEN JOKOWI MOHON TINJAU KENAIKAN TIKET AGAR NTT KEMBALI TENANG !”
Koranjokowi.com, Bandung:
Teman teman Relawan Jokowi dimana saja berada,
Gunung Perahu, Lembang, Jawa Barat dengan tinggi sekitar 2.084 meter dan luas 170-an Ha diduga ada sejak 210.000 tahun lalu hasil dari ‘bubaran’ Gunung Sunda Purba yang membentuk Kaldera Sunda dengan luas 6,5 x 7,5 km2, kini disana ada 13 kawah. Yang kemudian menjadi andalam wisata Prov. Jabar baik nasional dan internasional. Gunung aktif ini awalnya dikelola oleh Perhutani namun …(entah mengapa) … kemudian oleh swasta , PT Graha Rani Putra Perkasa (GRPP) sejak 24 September 2009 lalu. Disini ada pertanyaan tersisa mengapa tidak dikelola BUMD Provinsi?, agh..sudahlah.
Sekitar tahun 2014 lalu , pengelola menaikan tiket masuk ke kawasan itu dari Rp.15.000 menjadi Rp20.000 untuk wisatawan Nusantara pada hari biasa. Pada hari libur, kenaikan dari Rp.22.500 menjadi Rp30.000. Sedangkan untuk wisman, dari Rp.100.000 menjadi Rp.200.000 pada hari biasa dan dari Rp.150.000 menjadi Rp.300.000 pada hari libur. Dan, ‘buuummmm….. protes pun muncul, dari mulai warga sekitar, asosiasi perusahaan & profesi sektor wisata hingga para tokoh budaya Jabar,dsb.
Bahkan saat even pariwisata internasional , ‘Sales Mission promosi pariwisata yang diadakan Kementerian Pariwisata di Kuala Lumpur Malaysia Desember 2015 para biro perjalanan wisata Internasional khususnya Malaysia pun ikut ‘memprotes’ kenaikan ini.
Kalau pun kemudian dilaksanakan even Festival Tangkuban Perahu tanggal 24-25 Mei 2016 namun ‘Badai pengunjung ke wisata itu tidak bergeming, sehingga mematikan pula ratusan UMKM sekitar. Kemudian diperparah lagi saat Gunung Tangkuban Parahu erupsi pada Jumat (26/7/2019) sore, diperlukan recovery hingga mingguan lamanya. Belum lagi ‘nyaman, badai Covid 19 pun muncul sejak awal tahun 2020. ‘Selesai sudah..
Sekitar bulan Januari 2022 lalu, Koranjokowi.com sempat kesana, “Waduh beda kang, sebelum tiket naik dan Covid 19, omzet bisa sekitar Rp.25-30 juta, sekarang tidak sampai setengahnya. Dulu saya punya 2 kios, saya masih bertahan disini, tapi kios anak saya pindah ke pemandian air panas Ciateur”, kata si ibu penjaga kios disana.
Dan saya tidak tahu bagaimana saat ini , Agustus 2022.
ADA APA DI PULAU KOMODO – NTT ?
Rabu, 21 Juli 2022 lalu Presiden Jokowi datang ke Pulau Rinca Taman Nasional Komodo , NTT. Dalam keterangan pers, beliau mendukung jika memang harus menaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo dari Rp 150 ribu menjadi Rp 3,75 juta per tahun selama itu adalah upaya menjaga kelestarian kawasan konservasi sekaligus meningkatkan ekonomi pemerintah setempat lewat pariwisata khususnya area Pulau Komodo , Pulau Rinca, serta Pulau Padar. Khusus konservasi hewan reptil itu akan dilakukan di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Pagi ini, seorang Dewan Redaksi – Koranjokowi.com, Jerry A. menyampaikan kabar bahwa ada dugaan pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi akibat Kementerian LHK memberikan ijin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.
Dugaan adanya ‘standar-ganda dalam kebijakan membuat masyarakat sekitar khususnya asosiasi perusahaan & pengusaha sektor wisata di NTT pun ‘sewot. Sederhana saja,
Bagaimana bisa jika memang ada ‘pembatasan pengunjung tetapi disatu sisi pemda membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo yang dikelola oleh PT. Flobamor selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
‘Terus Masalahnya dimana ?
-BERSAMBUNG-
(Red-01/JerryAH/Foto.ist)
Lainnya,
Melawan Lupa (45), “SAAT SUKARNO DI ENDE NTT” – KORAN JOKOWI
SURAT DARI WARGA KABUPATEN LEMBATA – NTT YANG DITIMPA MUSIBAH BENCANA.. – KORAN JOKOWI
PEMIRSAH, KARNI ILYAS VS KASUS TANAH 30 HEKTAR DI NTT ? – KORAN JOKOWI
Ansy Lema Tolak Komersialisasi Secara Brutal di Pulau Komodo dan Padar
Jakarta – Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.
“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal? Ini kritik keras saya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu (16/7/2022).
Ansy menambahkan hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan ijin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.
“Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri,” gugatnya.
Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.
“Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo,” tandasnya.
Demikian pula, tambah Ansy, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis.
Kejanggalan Kebijakan
Ansy menjelaskan, ada dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting.
Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.
Di sini, paket wisata EVE dikelola oleh PT. Flobamor selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Biaya paket wisata EVE adalah Rp 15 juta per paket yang usulan alokasinya adalah (1) Rp 2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp 100.000 biaya asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (6) Rp 165.000 biaya pajak.
“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor. Tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar? Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.
Apalagi, melihat komposisinya, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke PT Flobamor.
Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.
“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.
Marginalisasi Masyarakat Kecil
Persoalan lain yang timbul dari kejanggalan kebijakan yang diambil pemerintah di atas adalah marginalisasi atau peminggiran masyarakat kecil.
Dengan kenaikan tarif Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai Rp 3,75 juta per orang dan paket EVE senilai Rp 15 juta, secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat kecil untuk berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar.
“Pemerintah harus memikirkan multiplier effect dari kebijakan ini. Yang bisa pergi ke Pulau Komodo dan Padar hanya orang kaya saja. Ditambah, kebijakan ini memotong peluang ekonomi masyarakat sekitar, terutama para pelaku wisata lokal. Paket EVE, misalnya. Penerapan EVE akan memenggal ekonomi operator tur yang hidup di Labuan Bajo,” terang Ansy.
Apabila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga.
Pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal.
Karena itu, Ansy mendesak KLHK untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.
“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis. Bicara konservasi koq ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” tutup Ansy Lema***
Be the first to comment