
PAKAIAN BADUY PRESIDEN JOKOWI IDIOM POLITIK & MENGINGATKAN JIKA MEREKA DISISIHKAN ORDE BARU !?
KoranJokowi.com, Bandung : Sebagaimana pernah disampaikan dalam tulisan sebelumnya jika Presiden Jokowi itu ‘mahir dalam menggunakan ‘idiom politik dan gambar sebagaimana disampaikan M.Smith – 1991 pakar komunikasi asal Amerika bahwa ‘One picture, One Idiom is worth a thousand words’ mengacu pada gagasan bahwa ide kompleks dapat disampaikan hanya dengan satu gambar dan satu idiom (simbol)
Gambar menyampaikan makna atau esensi lebih efektif daripada deskripsi. Gambar lebih efisien dan efektif menyampaikan informasi dibandingkan kata-kata. Juga ‘idiom politik yang kerap disuguhkan beliau; Payung Biru saat demo besar 212 di Istana, Blusukan dengan Moge hingga daerah konflik di Papua, Jacket Bomber saat panasnya Ligitan-Sipadan, saat ramai ‘papa minta saham beliau mengundang para komedian/pelawah ke istana, saat kerja infrastruktur beliau di hujat partai mercy biru beliau hadir ke (maaf) candi Hambalang, dsb.
Kini disaat semua eksekutif dan legislatif ‘berdandan menor dengan bau parfum menyengat menyambut Sidang tahunan MPR bersama DPR dan DPD RI di Kompleks Parlemen Jakarta, Senin (16/8/2021) pagi. Beliau ‘hanya’ datang dengan memakai busana adat Suku Baduy berwarna hitam dari Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Kenapa ‘ujug ujug F.Zon pun posting foto ini, UHuy..
Pakaian adat yang dikenakan Presiden Jokowi lengkap dengan aksesorisnya, dari telekung atau ikat kepala berwarna biru yang merupakan hasil tenun masyarakat Baduy hingga tas khas suku Baduy. Semua tercengang, yang mencemooh di sosial media dsb sudah seperti biasa, juga para hadirin disana. Beliau simpel saja menjawab, “Baju adat yang saya pakai ini adalah pakaian adat Suku Baduy,”. Pertanyaannya kenapa banyak orang yang ‘gerah ?
Ahahahahah, ‘Mak Jleeb !!
Masyarakat Suku Baduy menyebut dirinya sendiri sebagai orang Kanekes, karena panggilan tersebut merupakan nama wilayah mereka tinggal. Namun nama Baduy merupakan sebutan dari masyarakat luar Suku Baduy.
Ada juga yang berpendapat bahwa penamaan Baduy tersebut karena adanya gunung dan sungai yang bernama Baduy di sekitar tempat mereka tinggal.
Masyarakat Suku Baduy menganut Sunda Wiwitan sebagai aliran kepercayaan yang sudah dilestarikan dari jaman dahulu, dari leluhur Sunda di masa lampau, Sebagian orang Sunda mempercayai jika Suku Baduy adalah bagian dari para prajurit Kerajaan Pajajaran yang hijrah/moksa atas perintah rajanya, Raja kami, leluhur kami, PRABU SILIWANGI.
Versi lain, saat Banten masih masuk Kerajaan Pajajaran, Sang Prabu memilih Pangeran Pucuk Umu sebagai penguasa wilayah tersebut, disertai sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng (asal muasal tempat Suku Baduy) tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut dan ini terjadi sekitar abad 16 SM.
JUST REMIND
Secara historis, keberadaan jawara dalam struktur masyarakat Banten sudah ada semenjak pendirian Kesultanan Banten dan dengan peran kiyai – Jawara. kemudian menjadi elit revolusi yang mampu untuk menggerakan masa menentang penjajahan kolonial Belanda. Kegigihan elit kedua masyarakat ini, menimbulkan kesan postif dalam masyarakat sehingga masyarakat menganggap jawara sebagai pahlawan. Dan Orde Baru dengan segala cara ‘membungkam’ agar tidak muncul matahari dari Banten.
Kalau pun dalam setiap Pemilu tahun 1971, 1977, 9187, 1992 dan 1977 orde baru senantiasa berhasil melakukan itu, namun bara api terus berpijar didalamnya. ADA BOM WAKTU yang orde baru tidak sadari.
Pemaksaan institusi untuk kepentingan politik dilakukan karena tuntutan akan kestabilan di pemerintahan Orde Baru. Kesenjangan sosial semakin meningkat akibat kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan melupakan pemerataan serta distribusi yang adil. Beratnya hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang sekiranya dapat
menjadikan ancaman bagi pemerintah membuat masyarakat umum memilih diam.
Bara itu terlihat dari sikap keinginan> 7,4 juta orang Banten ingin menjadikan Karisedenan Banten menjadi Provinsi khususnya di tahun 1967-1970, namun mereka dianggap membangkang Orba. Dan ada ‘grand-design keberadaan Jawara Banten mulai dianggap duri karena sulit diatur, skenario itu adalah istilah jawara dihilangkan karena jawara identik dengan budaya “kekerasan”
Orde Baru lupa bahwa Banten Tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama islam saja tetapi mengajarkan juga ilmu persilatan atau kanuragan dalam perkembangannya murid kiyai yang lebih mendalami di bidang
intelektualnya di sebut Santri, sedangkan murid Kiyai yang mendalami di bidang fisik dan condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu Kanuragan kemudian di sebut Jawara.
Disengaja atau tidak dalam hal anggaran pembangunan, orde baru lebih condong kepada Kabupaten Serang dengan alasan sebagai ibukota Residen Banten, sehingga terciptalah kesentimenan sosial dengan wilayah lain seperti Kab.Lebak, Pandeglang dan Cilegon
Waktu terus berlanjut, ada yang tersisihkan oleh Orde baru….
merekalah para warga Suku Baduy , dari waktu ke waktu, yang kini berjumlah > 26.000 orang, sehingga akhirnya para Tetua Lembaga Adat Baduy, mengirimkan surat ke Presiden Jokowi (6/7/20) yang berisi permintaan agar Presiden mengeluarkan wilayah adat Baduy, sebagai lokasi objek wisata.
Para tetua khawatir kedatangan orang dengan latar belakang yang berbeda masuk wilayah mereka akan menghambat penanaman nilai-nilai leluhur terhadap generasi muda Baduy. “Dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai adat pada generasi berikutnya jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif sejak dini,” kata mereka
Hal lainnya, dasar permintaan mencabut Baduy sebagai destinasi wisata juga karena terpublikasinya foto-foto wilayah adat di Google Maps, khususnya Baduy Dalam, tanpa izin. Karena mereka memiliki keyakinan tabu untuk difoto”.
Kalau pun Chaer (1981:7) mengatakan bahwa Idiom adalah satuan bahasa entah berupa kata, frasa maupun kalimat yang maknanya tidak dapat ditarik dari kaidah umum gramatikal yang berlaku dalam bahasa tersebut, atau tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsur yang membentuknya.
Presiden Jokowi telah berhasil melakukan itu, mengingatkan siapapun yang ‘berparfum menyengat dalam ruangan AC bahwa kita telah melupakan SUKU BADUY.
Mungkin analisa saya salah karena kenbodohan saya..
Namun saya tertarik dengan salah satu pribahasa mereka, yaitu : “… Nerapkeun hukum ulah kencra kencas, Ulah cuweut kanu hideung, Ulah monteng kanu koneng, Ulah ngilik kanu putih, Ulah neuleu tandingan nenjo paroman, Ulah pandang bulu …”
…. Dalam menegakan hukum jangan pernah melihat apapun, tidak melihat kedudukan dan siapa dia, hukum harus ditegakan secara benar dan adil….
Hal inilah barangkali yang dipandang Presiden Jokowi sejak jauh sebelum menjadi Presiden tahun 2014 lalu, dimana hukum lebih tajam kebawah dan tumpul ke atas. Sehingga masyarakat tidak lagi mendapatkan keadilan, ditambah hukum sangat mudah dipermainkan oleh orang-orang yang memiliki duit
…. Dan pakaian dan aksesoris yang dipakai Presiden Jokowi itu mengandung arti banyak..
(Red-01/Foto.ist)



1 Trackback / Pingback