
“OEI, TERLIHAT DI WADUK RAWABADAK JAKARTA UTARA?”
Koranjokowi.com, OPINi :
Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan . Tragedi Angke / Chinezenmoord (“Pembunuhan orang Tionghoa”) oleh Belanda (VOC) tahun 1740 lalu. Dimana ini merupakan akumulasi ‘ketakutan’ Belanda kepada laskar rakyat Jakarta yang semakin berani melawan karena dibeking oleh etnis Tionghoa, untuk itu pula maka dilakukanlah razia membabi-buta selain laskar rakyat yang diburu, Belanda juga banyak membunuh etnis Tionghoa dan klimaknya terjadi 7 Oktober 1740. Namun laskar rakyat dan laskar Tionghoa tidak diam, terus melawan da membalas menyerang pos-pos VOC,dan teror lainnya.
Pada 9 Oktober 1740, VOC membalas dengan membunuh banyak etnis Tionghoa & laskar rakyat Batavia (Pembantaian Geger Pecinan) ini berlangsung di lapangan depan Museum Fatahillah. Mayat-mayat korban kemudian dibuang ke sungai besar yang dikenal sebagai Kali Angke. Bahkan beberapa wanitanya ada yang terlebih dahulu diperkosa.
Nama Angke berasal dari Bahasa Hokkien, di mana ang berarti merah dan khe berarti sungai. Hal ini karena sungai yang tadinya bening berubah menjadi merah dibanjiri darah korban pembantaian dalam Geger Pecinan.
Setelahnya ribuan warga Tionghoa se-Jabotabek (sekarang) ‘mengungsi’ ke Lasem , Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pastinya menimbulkan pro-kontra namun tidak demikian dengan Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) , dia bersama pengikutnya menerima dengan suka hati dan mempersilahkan mereka membuka perkampungan baru.
Hal ini juga disetujui oleh sahabat sahabatnya, diantaranya Panji Margono , Tan Kee Wie (Saudagar dan guru kungfu), , Souw Pan Ciang, seorang Komandan Militer Tionghoa, dan pendekar Tanjung Welahan, yaitu Tan Sin Ko alias Singshe, disertai ribuan laskar rakyatnya dan kemudian membentuk Aliansi pasukan Tionghoa di seluruh Tanah Jawa dengan niat yang satu, menumbangkan VOC !
Namun mereka juga mundur sambil menyerang Semarang, memberantas bandit-bandit yang mengganggu rakyat khususnya di Desa Godou. Yang kemudian dikenal dengan nama Perang Godou Balik (Perang Godho Balik).
Pada tanggal 23 Mei 1741, laskar Tionghoa & laskar rakyat pun berkumpul di Welahan bergerak ke Timur dan menyerang Rembang dan sekitar yang diduduki Belanda. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Tionghoa pada tanggal 27 Juli 1741.
Belanda tidak diam dengan bantuan dari Semarang dsb Belanda dan laskarnya membalasnya dengan menyapu bersih seluruh etnis Tionghoa yang berada di Surabaya, Pasuruan, dan Gresik pada tanggal 12 Juli 1741. Ribuan korban tewas atas hal ini.
Laskar Tionghoa dan rakyat tidak diam, Tanggal 31 Juli 1741, mereka pun secara gerilya mengepung Kota Jepara. Di Kertasura sendiri, Pakubuwana II mengerahkan pasukan untuk menyerang pos VOC di sana, mengakibatkan Kapiten Johannes van Velsen yang menjadi komandan serta beberapa serdadu lainnya tewas, dan sisanya diberi pilihan untuk memeluk agama Islam atau dibunuh.
Saat itu kekuatan gabungan ini terdiri atas 20.000 laskar rakyat , 3.500 laskar Tionghoa, disertai 30 buah meriam dan pasukan berkuda bantuan Pakubuwana II yang sarat dengan bahan peledak
Perang Kuning (Geel Orlog) ini banyak membawa hikmah kepada laskar Gabungan Rakyat & Tionghoa tersebut, apalagi Belanda banyak menggunakan pasukan terdepannya dari etnis tertentu, sesama anak bangsa dihadapkan untuk berperang, yang satu membela NKRI yang satu membela Belanda.
Oei dan teman – temannya memahami jika ini politik adu-domba Belanda maka mereka lebih memilih untuk mundur , mereka kembali menata wilayah dan kesejahteraan rakyatnya yang selama ini tiada berhenti berperang.
Peperangan berhenti selama bertahun-tahun hingga akhirnya pemberontakan kembali dikobarkan oleh Kyai Ali Badawi di tahun 1950, dilanjutkan oleh penerus mereka ,Kwee An Say dan Tan Wan Sui
Kwee An Say, anak laki-laki dari Kwee Kiauw adalah seorang Tionghoa totok dari Hokkian (Liem Thian Joe. opcit) yang juga menjabat sebagai Kapiten, mereka hanyalah pedagang gula lintas pulau yang tidak suka politik.
Kwee Kiauw
Kwee An Say adalah seorang saudagar yang pergi mengedarkan barang-barang dagangannya sampai ke desa-desa dan sering kali berda-gang sampai ke Ungaran, Kendal, Salatiga dan lain-lain tempat lagi. Kemudian dia merubah haluan hidupnya, dengan jalan hidup sebagai seorang saudagar gula.
Namun demi NKRI dia pun ikut melawan Belanda bersama laskarnya di Semarang, Demak, Boejaran, Kendal, Jepara dsb.
https://fb.watch/phpwOmoZ_x/
Hingga saat ini saya belum menemukn info detol bagaimana kelanjutan sosok Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat), yang disebut Kakek angkat saya pernah bilang ‘dialah si Pendekar 1000 muka’.Kalau pun sumber lain mengatakan jika Oei telah tewas diberondong tembakan peluru dari serdadu VOC asal Ambon. Dan, Pernah di tahun 2017 dan 2019 saya “menemui” mereka , Oei Ing Kiat, Tan Ke Wie, Souw Pan Ciang dan Tan Si Kho yang berdiri tegak di Museum Tionghoa Taman Mini Indonesia Indah.
Sosok di sebelah kiri adalah serdadu VOC, Mayor Baron van Hohendorff, Kapten Nathaniel Steinmetz yang menembak sambil menekuk lutut, dan Mayor Gerrit Mom berdiri memegang pestol dan kelewang.
Berdiri di sebelah kanan adalah tokoh-tokoh yang memerangi VOC di tempat yang berbeda, yaitu Singseh (Tan Sin Ko) dari Welahan, kemudian Sepanjang (Souw Phan Ciang) yang membentuk laskar di Gandaria di pinggiran Batavia waktu itu, Raden Mas Said (Mangkunegoro I), Tumenggung Widyaningrat (Oey Ing Kia, Bupati Lasem), Raden Panji Mergono (Lasem), Tan Kie Wie (Lasem), dan Bupati Grobogan Martopuro.
Diantara tahun 2018 menjelang Ramadhan saat itu saya pernah mampir ke Waduk Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara sekitar pkl.21.00 malam. Pulang dari Pasar Ular mengantar teman , alm.Jack KM – kami ‘seolah’ melihat sosok OEI dan Kapitan Cina pertama di Batavia, Souw Beng Kong ada disana.
Wallahualam bishowab
(Red-01/Foto.ist)
Lainnya,
Melawan Lupa (143), ” LASKAR TIONGHOA, ULAMA & SANTRI BANTAI BELANDA DI LASEM JATENG !? “
Pilpres 2024 (177), ” RELAWAN GANJAR MENOLAK EMIL WAPRESNYA GANJAR, TITIK ! “
Be the first to comment