Budi D.Ginting, “BATAK OORLOG, PERANG SUNGGAL & TEMBAKAU DELI”

Budi D.Ginting,

“BATAK OORLOG, PERANG SUNGGAL & TEMBAKAU DELI”

Koranjokowi.com, OPINi;

Perang Sunggal (1872-1895), atau disebut juga  Batak Oorlog (Perang Batak), hal ini juga dikarenakan Sunggal sebagai medan pertempuran kebanyakan berada di pegunungan yang didiami oleh masyarakat Batak – Karo, maka masyarakat lebih mengenalnya dengan Perang Sunggal. Ketika itu Sunggal (Serbanyaman) dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti.


Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan sosok yang memiliki jiwa patriotik, teguh pendirian, berjuang tanpa pamrih dan pandai berteman dengan para pemimpin  Suku Karo, Aceh, Gayo dan Suku Melayu lainnya untuk bersatu padu melawan Belanda.


Perang Sunggal diawali oleh keberadaan seorang Belanda bernama Jacobus Nienhuys yamg gemar  menjarah tanah-tanah di Jawa Timur untuk perkebunan tembakau di bawah bendera kongsi Van den Arend yang berpusat di Surabaya bersama rekannya,  seorang pedagang keturunan Arab kelahiran Surabaya bernama Syaid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih.

See the source image

Jacobus Nienhuys

Tentu, ihkwal kedatangan Abdullah di Deli bukan serta merta. Dirinya adalah seorang pedagang antarpulau. Suatu ketika kapal yang juga dinahkodainya karam. Setelahnya, Abdullah berkelana dan terdampar di Deli. Pengembaraannya itu kemudian mengantarkan Abdullah dekat dengan Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam. Dan kemudian dinikahkan dengan adiknya

undefined

Sultan Mahmud Perkasa Alam

Setelah diangkat pula sebagai penasehat Sultan, dia pun diminta sultan untuk mencari investor Belanda hingga ke pulau Jawa untuk membuka perkebunan tembakau di Deli, tentu dengan dalih memakmurkan negeri.

Hingga kemudian memperkenalkan Sultan dengan Jacobus Nienhuys   sekitar 7 Juli 1863, disepakatilah Belanda ber-investasi di Deli dengan konsesi lahan sebesar 4000 bahu (+/- 3000 hektare) dengan masa kontrak 20 tahun, khususnya di sekitar  Mabar, Pulau Berayan, Gelugur, Kesawan, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru dan Deli Tua dan terus bertambah luasnya dari tahun ke tahun.

Tanpa disadari Belanda pun  menguasai lahan subur  disana dengan menanam tembakau yang dianggap ‘harta karun’ oleh Belanda, yang kemudian dikenal dengan nama ‘TEMBAKAU DELI’ yang kemudian menjadi komoditas yang paling laris sebagai bahan dasar cerutu yang diekspor ke Eropa dan Amerika.

Di dalam akte konsensi (Traktak Siak, 1858) yang dijadikan landasan hukum Nienhuys, tidak ada penjelasan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi pemukiman (kampong) atau perladangan, masuk sebagai tanah yang dikonsensikan. Namun dalam realitasnya tanah-tanah itu turut pula terampas dan dijarah para pengusaha perkebunan Belanda itu. Tentu dengan dalih mendapat perlindungan hukum dari Sultan Deli.


Hal inilah yang kemudian semakin memicu perlawanan yang pertama kali dipimpin oleh Datuk Kecil (Paman dari Datuk Badiuzzaman) yang kelak kemudian dikenal dengan Perang Sunggal.

Diketahui, pada tahun 1870, Sultan Deli telah memberikan konsensi sebidang tanah yang luas di Sunggal. Tanah itu merupakan tanah ulayat dan sudah ditempati oleh rakyat. Tampaknya Sultan Deli tak lagi melihat bahwa tanah yang akan diberikan kepada para pengusaha Belanda itu merupakan tanah ulayat.

Tetapi Sultan tidak memperdulikan hal tersebut dan tetap memerikan konsensi kepada Nienhuys. Bahkan Sultan juga memaksa kepada Sri Raja yang masih muda dan belum sah dinobatkan sebagai Datuk Sunggal. Sultan Deli juga melakukan pendekatan kepada Datuk Kecil yang saat itu sebagai perwakilan dan memegang fungsi Datuk Sunggal, agar menyetujui pemberian konsensi itu.

Di sisi lain, status Sunggal sebagai Kalimbubu (Mertua) dalam relasi kekerabatan dari Deli dianggap telah berani melawan adat dengan upaya menundukkan Sunggal beberapa waktu sebelumnya. Status Sunggal sebagai Mertua dalam adat Batak memiliki kedudukan yang lebih tinggi, di mana sebagai Anak Boru (Menantu) harus menjadi ‘pelayan’ bagi Mertua.

Sultan Deli dianggap durhaka, karena wilayah Deli sebagian di antaranya merupakan wilayah yang diberikan oleh Kerajaan Sunggal sebagai ikatan kekerabatan di masa sebelumnya. Namun upaya diplomasi  damai tidak juga digubris. Dan sejak Desember 1871, Datuk Badiuzzaman Surbakti  mulai menghimpun rakyat  dan orang-orang pilihan untuk melawan , mereka pun membangun ‘markas perjuangan di Kampung Gajah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Dan mengobarkan semangat  “Musuh Berangin”, kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar.

Kuli Kontrak di Perkebunan Deli

Belanda dan Sultan Deli  mencium gelagat ini maka disebarkanlah candu ketengah masyarakat dengan harga murah bahkan gratis juga fitnah pemecah kekuatan , namun rakyat tetap nekat bahkan beberapa pemakai dan penjual candu dipancung kepalanya di alun-alun. Kekuatan Suku  Melayu, Karo dan Batak  bahkan ada beberapa dari Aceh dan lainnya  semakin menguatkan perlawanan.

Hal lain, kekuatan ini kerap melakukan sabotase daripada berperang karena kekuatan Belanda dalam persenjataan cukup baik. Banyak lahan/ladang  tembakau pun dibakar masyarakat sebagai teror kepada keluarga Belanda dan ini berjalan hingga puluhan tahun.

Belanda pun secara bergelombang mendatangkan pekerja dari Tiongkok hingga mencapai 16.000 orang , karena konflik/peperangan dengan Sunggal berjalan namun mereka tidak mau rugi dalam produksi TEMBAKAU DELI  yang telah mendunia dan berharga mahal.

Hingga ditahun 1894, Belanda menawarkan perundingan dengan mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.  Datuk Sunggal pun berangkat ke Batavia bersama adiknya, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Mahmud (sekretaris) dan ajudannya Daim.

Sejarah pembentukan OPM Papua yang dilakukan oleh Belanda sebagai upaya dekolonisasi? (Leonardo Ai)

Perang ini berlangsung sekitar 23 tahun (1872-1895), lebih lama dibanding Perang Padri di Minangkabau (1824-1837), rakyat Aceh dipimpin Teuku Umar (1878-1899) – diteruskan Cut Nyak Dien (1902-1904). Kekuatan pun semakin baik setelah beberapa  orang Jawa mantan tentara Belanda , para petani Tiongkok pun ikut melawan Belanda dan Kesulatanan Deli.  Karena dianggap PERANG BESAR DAN LAMA,  pemerintah Hindia Belanda pun harus mengeluarkan ‘Medali Khusus’ untuk menghargai para pemimpin perang di pihak mereka. Ini tercatat dalam dokumen di Museum KNIL Bronbeek, Belanda

Di Batavia, ternyata mereka tidak dipertemukan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, malah diperintahkan meminta maaf atas “kesalahan” yang telah dilakukan. Permintaan itu tentu saja ditolak dengan busung dada. Bagi Datuk Sunggal dan rakyatnya, sampai matipun mereka tidak mau jongkok-jongkok dan minta ampun kepada Belanda karena itu kepantangan nenek moyangnya.

Datuk Badiuzzaman Surbakti.

“Biar mati sekalipun, saya tak akan pernah jongkok minta ampun di depan orang-orang Belanda.” hardik  Datuk Badiuzzaman ketika diperintahkan meminta maaf kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda – Carel Herman Aart van der Wijck.

Pada tanggal 20 Januari 1895  mereka dihukum buang seumur hidup Datuk Badiuzzaman Surbakti dibuang ke Cianjur, Jawa Barat dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke Banyumas, Jawa Tengah hingga mereka meninggal dunia karena sakit-sakitan dalam penjara yang pengap , lembab & tidak manusiawi.

‘Innalilahiwainailaihirajiun…

(Red-01/Foto.ist)

Lainnya,

Letjen TNI Purn Ibrahim Adjie

Pangdam VI/Siliwangi Thn.1960-1966

 

“7 MENTERI DAN KASTAF PRESIDEN PILIHAN KORANJOKOWI THN.2024-2029”

Kabar Deli Serdang (17), “KOTA DELI MEGAPOLITAN  & RAKYAT PENUNGGU-NYA”

Kabar Sumatera (86), “Bagaimana Jadinya Jika Ibu ibu Desa Sampali Sumut ini Ke Istana Jakarta ? “

Kabar Deli serdang (28), ” SIAPA ASN DELI SERDANG YANG TAK  BER-AKHLAK ?”

Kabar Deli Serdang (18), ‘DISAAT TEMBAKAU DELI GO INTERNASIONAL, ….. RAKYAT PENUNGGU PUN DILUPAKAN ?”

Tentang Koran Jokowi 4116 Articles
MEDIA INDEPENDEN RELAWAN JOKOWI : *Alumni Kongres Relawan Jokowi 2013 (AkarJokowi2013), *Aliansi Wartawan Non-mainstream Indonesia (Alwanmi) & Para Relawan Jokowi Garis Lurus lainnya.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan